Viewers

Selasa, 24 April 2018

TUGAS REVIEW BUKU PENDIDIKAN PANCASILA


PENDIDIKAN PANCASILA
Pengarang      : Prof. Dr. Kaelan, M.S

Book Review ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Pancasila
Dosen Pembimbing : Muhammad Julijanto, S.Ag., M.Ag

DI SUSUN OLEH :
Nama  :Rima Marga Reta                           
NIM    : 155121084

Judul Buku                  : Pendidikan Pancasila                       
Pengarang/ Penulis      : Prof. DR. H. KAELAN, MS
Penerbit                       : PARADIGMA
Kota Terbit                  : YOGYAKARTA
Tahun Terbit                : 2014
Tebal Buku                  : 270 + vii
Indeks                         : Tidak Ada
Daftar Pustaka                        : Ada
Biodata Penulis           : Tidak Ada
Kata Pengantar           : Ada
ISBN                           : Ada
·         Isi Buku Secara Umum

Pendidikan Pancasila merupakan buku mengenai sejarah dan pengertian awal lahirnya Pancasila yang menjadi dasar filsafat negara Republik Indonesia serta menjelaskan kedudukan dan fungsi Pancasila yang seharusnya, yang kini mengalami berbagai macam interpretasi dan manipulasi politik sesuai dengan kepentingan penguasa dengan berlindung di balik legitimasi ideologi Pancasila agar tetap kokoh dan tegak. Berdasarkan kenyataan tersebut gerakan reformasi berupaya untuk mengembalikan kedudukan dan fungsi Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang direalisasikan melalui Ketetapan sidang Istimewa MPR tahun 1998 No.XVIII/MPR/1998 disertai dengan pencabutan P-4 dan sekaligus juga pencabutan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi Orsospol Indonesia. Ketetapan juga mencabut mandat MPR yang diberikan kepada Presiden atas kewenangannya membudayakan Pancasila melalui P-4 dan asas tunggal Pancasila.
Kehidupan kenegaraan Indonesia sistem politik, kedaulatan rakyat, realisasi bentuk negara, sistem demokrasi, kekuasaan negara, partai politik, serta otonomi daerah, nampak tidak konsisten dengan dasar filosofis negara Pancasila. Nampaknya sistem Liberalisme das sein (dalam kenyataannya) dihayati bagaikan agama dalam kehidupan kenegaraan dan kebangsaan Indonesia. Kedaulatan negara yang seharusnya diletakkan pada rakyat, namun dalam kenyataannya berhenti pada kekuasaan elit politik negara, penguasa negara, partai politik serta kalangan politik. Oleh karena itu kiranya merupakan tugas berat kalangan intelektual untuk mengembalikan sistem negara ini pada demokrasi yang subsansial, demokrasi yang benar-benar berbasis pada kedaulatan rakyat dan bukannya para penguasa politik, penguasa negara, serta kapitalis yang oligarkhi.


A.    LANDASAN PENDIDIKAN PANCASILA

1.      Landasan Historis. Proses sejarah bangsa Indonesia yang dimulai dari masa kerajaan Kutai, Sriwijaya, Majapahit sampai datang bangsa lain yang menjajah bangsa Indonesia,disertai  dengan berjuang untuk menemukan jati diri bangsa sebagai suatu bangsa yang merdeka, mandiri serta mempunyai prinsip yang tersimpul dalam pandangan hidup dan filsafat bangsa. Jadi secara historis bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila Pancasila sebelum dirumuskan dan disahkan menjadi dasar Negara Indonesia secara obyektif telah dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri. Sehingga asal nilai-nilai Pancasila tersebut tidak lain adalah dari bangsa Indonesia sendiri, atau dengan kata lain bangsa Indonesia sebagai kausa materialis Pancasila.
Oleh karena itu berdasarkan fakta obyektif secara historis kehidupan bangsa Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai Pancasila.

2.        Landasan Kultural. Bangsa Indonesia mendasarkan pandangan hidupnya dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara pada satu asas kutural yang dimiliki dan melekat pada bangsa itu sendiri. Nilai-nilai kenegaraan dan kemasyarakatan yang terkandung dalam sila-sila Pancasila bukan hanya merupakan hasil konseptual seseorang saja melainkan merupakan suatu hasil karya besar bangsa Indonesia itu sendiri, yang diangkat dari nilai-nilai kultural yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri melalui proses refleksi filosofis para pendiri bangsa, yaitu Soekarno, M.Yamin, Soepomo, M.Hatta serta pendiri bangsa lainnya. Satu-satunya karya besar Indonesia yang sejajar dengan karya bangsa lain di dunia adalah hasil pemikiran tentang bangsa dan negara yang mendasarkan pandangan hidup suatu nilai yang tertuang dalam sila-sila Pancasila.
3.     Landasan Yuridis. Dalam landasan Yuridis telah tertuang dalam Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 2 yang   mengandung makna bahwa secara material Pancasila merupakan sumber hukum pendidikan  nasional. Undang-Undang PT No. 12 Tahun 2012 Pasal 35 ayat 3 dicantumkan bahwa  kurikulum Pendidikan Tinggi wajib memuat Mata Kuliah Pendidikan Agama, Pendidikan Pancasila, Pendidikan Kewarganegaraan serta Bahasa Indonesia. Dengan demikian perkuliahan Pancasila memiliki landasan yuridis.

4.    Landasan Filosofis. Pancasila sebagai dasar filsafat negara dan pandangan filosofis bangsa Indonesia. Secara filosofis, bangsa Indonesia sebelum mendirikan negara adalah bangsa yang berketuhanan dan berkemanusiaan serta dengan syarat mutlak adalah rakyat karena rakyat merupakan unsur pokok suatu negara dan asal mula kekuasaan negara.

B.   Tujuan Pendidikan Pancasila
Secara singkat tujuan Pendidikan Pancasila, yaitu:
·         Untuk menghasilkan peserta didik yang berperilaku.
·         Memiliki kemampuan untuk mengambil sikap yang bertanggungjawab sesuai dengan hati nuraninya.
·         Memiliki kemampuan untuk mengenali masalah hidup dan kesejahteraan serta cara-cara pemecahannya.
·         Mengenali perubahan-perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, serta
·         Memiliki kemampuan untuk memaknai peristiwa sejarah dan nilai-nilai budaya bangsa untuk menggalang persatuan Indonesia.

C.   Pembahasan Pancasila secara Ilmiah
Pembahasan Pancasila termasuk filsafat Pancasila, sebagai suatu kajian ilmiah, harus memenuhi syarat-syarat ilmiah yang dikemukakan oleh IR. Poedjowijatno dalam bukunya “Tahu dan Pengetahuan”, yaitu sebagai berikut:
1.      Berobjek. Semua ilmu pengetahuan itu harus memiliki objek, sehingga pembahasan Pancasila secara ilmiah harus memiliki objek, yang di dalam filsafat ilmu pengetahuan dibedakan menjadi dua macam yaitu ‘objek forma’ dan ‘objek materia’. 
‘Objek Forma’ Pancasila adalah suatu sudut pandang tertentu dalam pembahasan Pancasila, atau dari sudut pandang apa Pancasila itu dibahas. Pada hirarkinya Pancasila dapat dibahas dalam berbagai sudut pandang, yaitu di antaranya sudut pandang moral, sudut pandang ekonomi,sudut pandang pers, sudut pandang hukum dan kenegaraan, sudut pandang filsafat, dan lain sebagainya.
‘Objek Materia Pancasila adalah suatu objek yang merupakan sasaran pembahasan dan pengkajian Pancasila baik yang bersifat empiris maupun nonempiris. Pancasila adalah hasil budaya bangsa Indonesia, bangsa Indonesia sebagai kausa materialis Pancasila(asal mula nilai-nilai Pancasila).
 Oleh karena itu objek materia pembahasan Pancasila adalah berupa hasil budaya bangsa Indonesia yang berupa, lembaran sejarah, bukti-bukti sejarah, benda-benda sejarah, benda-benda budaya, lembaran negara, lembaran hukum maupun naskah-naskah kenegaraan lainnya maupun adat istiadat bangsa Indonesia sendiri.
2.      Bermetode. Karena objek Pancasila banyak berkaitan dengan hasil-hasil budaya  dan objek sejarah maka lazim digunakan metode ‘hermeneutika’ yaitu suatu metode untuk menemukan makna dibalik objek, demikian juga metode’analitika bahasa’, serta metode ‘pemahaman, penafsiran, dan interpretasi’, dan metode tersebut senantiasa didasarkan oleh hukum-hukum logika dengan penarikan kesimpulan.
3.      Bersistem. Pembahasan Pancasila secara ilmiah dengan sendirinya sebagai suatu sistem dalam dirinya sendiri yaitu ada pada Pancasila itu sendiri sebagai objek pembahasan ilmiah senantiasa bersifat koheren (runtut), tanpa adanya suatu pertentangan di dalamnya, sehingga sila-sila Pancasila itu sendiri merupakan suatu kesatuan yang sistematik.
4.      Bersifat Universal. Dalam kaitannya dengan kajian Pancasila hakikat ontologis nilai-nilai Pancasila adalah bersifat universal, atau dengan lain perkataan inti sari, essensi atau makna yang terdalam dari sila-sila Pancasila pada hakikatnya bersifat universal.
  

Tingkatan Pengetahuan Ilmiah.
  Tingkatan pengetahuan ilmiah ini lebih menekankan pada karakteristik pengetahuan masing-masing. Tingkatan pengetahuan ilmiah sangat ditentukan oleh macam pertanyaan ilmiah, yaitu sebagai berikut:
 Pengetahuan deskriptif         ~          suatu pertanyaan ‘bagaimana’
 Pengetahuan kausal               ~          suatu pertanyaan ‘mengapa’
 Pengetahuan normatif           ~          suatu pertanyaan ‘kemana’
 Pengetahuan essensial            ~          suatu pertanyaan ‘apa’
1.    Pengetahuan Deskriptif. Dengan menjawab pertanyaan ‘bagaimana’, maka akan memperoleh suatu pengetahuan ilmiah yang deskriptif. Dalam mengkaji Pancasila harus menerangkan, menjelaskan, serta menguraikan Pancasila secara objektif sesuai dengan kenyataan Pancasila itu sendiri sebagai hasil budaya bangsa Indonesia.
2.      Pengetahuan Kausal. Dengan memberikan jawaban dari pertanyaan ilmiah ‘mengapa’, maka akan diperoleh suatu pengetahuan kausal, yaitu suatu pengetahuan yang memberikan jawaban tentang sebab dan akibat.Proses kausalitas terjadinya Pancasila yang meliputi empat kausa yaitu: materialis, formalis, effisien, dan finalis.
3.      Pengetahuan Normatif. Tingkatan pengetahuan ‘normatif’ adalah sebagai hasil dari pertanyaan ilmiah ‘kemana’. Pengetahuan normatif senantiasa berkaitan dengan suatu ukuran , parameter, serta norma-norma. Pancasila perlu dikaji norma-normanya, karena Pancasila itu untuk diramalkan, direalisasikan serta dikongkritisasikan. Untuk itu harus jelas, terutama dalam kaitannya dengan norma hukum, kenegaraan, serta norma-norma moral.
4.         Pengetahuan Essensial. Tingkat pengetahuan untuk menjawab suatu pertanyaan terdalam yaitu pertanyaan tentang hakikat segala sesuatu dan hal ini dikaji dalam bidang filsafat.Oleh karena itu kajian Pancasila secara essensial pada hakikatnya untuk mendapatkan suatu pengetahuan tentang inti sari atau makna yang terdalam dari sila-sila Paancasila.

Lingkup Pembahasan Pancasila Yuridis Kenegaraan

               Pancasila sebagai objek pembahasan ilmiah memiliki ruang lingkup yang sangat luas, tergantung pada objek forma apa sudut pandang pembahasannya masing-masing. Adapun bila Pancasila dibahas dari sudut pandang yuridis kenegaraan maka bidangnya ‘Pancasila Yuridis Kenegaraan’. Pancasila yuridis kenegaraan meliputi pembahasan Pancasila dalam kedudukannya sebagai dasar negara Republik Indonesia, sehingga meliputi realisasi Pancasila dalam segala aspek penyelenggaraan negara secara resmi baik norma hukum maupun norma moral dalam kaitannya dengan segala aspek penyelenggaraan negara.

A.    Beberapa Pengertian Pancasila.

1.      Pengertian Pancasila secara Etimologis.

Secara etimologis kata Pancasila berasal dari bahasa Sangsekerta yang artinya peraturan tingkah laku yang baik, yang penting atau yang senonoh. Ajaran Pancasila menurut Budha adalah lima aturan (larangan) atau five principles, yang seharusnya ditaati dan dilaksanakan oleh para penganut biasa atau awam.

2.      Pengertian Pancasila secara Historis.

Dengan diawali sidang BPUPKI yang mengajukan masalah tentang suatu calon rumusan dasar negara Indonesia yang akan dibentuk, hingga pada 1 Juni1945 Ir. Soekarno secara lisan berpidato dengan memberi istilah dasar negara yang disebutnya Pancasila yang artinya lima dasar.
Pada tanggal 17 Agustus Indonesia memproklamasikan kemerdekaan yang keesokkan harinya tanggal 18 Agustus 1945 disahkannya Undang-Undang Dasar dimana termuat juga isi rumusan lima prinsip atau lima dasar tersebut.
a.       Ir. Soekarno (1 Juni 1945)
Soekarno mengusulkan lima asas sebagai dasar negara, yang rumusannya yaitu :
1.      Nasionalisme atau Kebangsaan Indonesia.
2.      Internasionalisme atau Perikemanusiaan.
3.      Mufakat atau Demokrasi.
4.      Kesejahteraan Sosial.
5.      Ketuhanan yang berkebudayaan.
Pada tahun 1947 Soekarno berpidato diterbitkan dan dipublikasikan dan diberi judul”Lahirnya Pancasila” pada tanggal 1 Juni.
b.      Piagam Jakarta
Dalam Piagam Jakarta termuat rumusan Pancasila sebagai
 berikut :
1.      Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
2.      Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3.      Persatuan Indonesia.
4.      Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dan permusyawaratan/ perwakilan.
5.      Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

3.      Pengertian Pancasila secara Termonologis

Dalam bagian Pembukaan UUD 1945 terdiri atas empat alinea, yang  tercantum rumusan Pancasila sebagai berikut :
1.      Ketuhanan Yang Maha Esa.
2.      Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3.      Persatuan Indonesia.
4.      Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebjaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan.
5.      Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rumusan Pancasila yang tercantum dalam UUD 1945 inilah yang secara konstitusional sah dan benar sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang disahkan oleh PPKI yang mewakili seluruh rakyat Indonesia.

a.       Dalam Konstitusi RIS (Republik Indonesia Serikat)
Tercantum rumusan Pancasila sebagai berikut :
1.      Ketuhanan Yang Maha Esa.
2.      Peri Kemanusiaan.
3.      Kebangasaan.
4.      Kerakyatan.
5.      Keadilan.

b.      Dalam UUDS (Undang-Undang Dasar Sementara)
Tercantum rumusan Pancasila sebagai berikut :
1.      Ketuhanan Yang Maha Esa.
2.      Peri Kemanusiaan.
3.      Kebangsaan.
4.      Kerakyatan.
5.      Keadialan Sosial.

c.       Rumusan Pancasila di Kalangan Masyarakat.
Rumusan Pancasila tersebut yaitu sebagai berikut :
1.      Ketuhanan Yang Maha Esa.
2.      Peri Kemanusiaan.
3.      Kebangsaan.
4.      Kedaulatan Rakyat.
5.       Keadilan Sosial.

B.     Nilai-nilai Pancasila dalam Sejarah Bangsa Indonesia.

Zaman kutai. Indonesia memasuki zaman sejarah pada tahun 400 M, dengan ditemukannya prasasti yang berupa 7 yupa (tiang batu). Masyarakat kutai yang membangun zaman sejarah Indonesia pertama kalinya ini menampilkan nilai-nilai sosial politik, dan ketuhanan dalam bentuk kerajaan, kenduri, serta sedekah kepada Brahmana.
Dalam zaman kuno (400-1500) terdapat dua kerajaan yang berhasil mencapai integrasi dengan wilayah yang meliputi hampir setengah Indonesia yaitu kerajaan Sriwijaya di Sumatra dan Majapahit di Jawa (Toyibin, 1997).
Zaman Sriwijaya. Pada zaman kerajaan Sriwijaya merupakan suatu kerajaan besar yang cukup disegani di kawasan Asia Selatan. Sebagai suatu kerajaan yang besar Sriwijaya sudah mengembangkan tata negara dan tata pemerintahan yang mampu menciptakan peraturan-peraturan yang ditaati oleh rakyat yang berada di wilayah kekuasaannya.


Zaman Kerajaan-kerajaan Sebelum Majapahit. Sebelum kerajaan Majapahit muncul sebagai kerajaan yang memancangkan nilai-nilai nasionalisme, telah muncul kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah meliputi Kerajaan Kalingga (abad VII), Sanjaya (abad VIII), Syailendra (abad VII dan IX). Diketahui bahwa agama Hindhu dan Budha berasal dari India, sehingga pembangunan candi-candi menunjukkan fakta bahwa dahulu bangsa Indonesia sudah mengembangkan toleransi beragama dan sikap humanisme dalam pergaulan antar manusia. Sedangkan di Jawa Timur muncul kerajaan meliputi kerajaan Isana (abad IX), Darmawangsa (abad X), dan kerajaan Airlangga (abad XI). Para pengikut, rakyat, dan para Brahmana bermusyawarah dan memutuskan untuk memohon Airlangga bersedia menjadi raja, sebagai penjabaran sila keempat.
Bahkan pada zaman itu lambang negara Indonesia yang makna didalamnya juga melambangkan sila-sila Pancasila, digambarkan dengan burung garuda, dengan seloka ‘Bhinneka Tunggal Ika’.
Kerajaan Majapahit. Pada tahun 1293 berdirilah kerajaan Majapahit, pada waktu itu agama Hindhu dan Budha hidup damai. Empu Prapanca menulis “Negarakertagama” (1365) dalam kitab tersebut terdapat istilah Pancasila. Empu Tantular mengarang buku Sutasoma,  yang didalamnya terdapat seloka persatuan nasional yaitu Bhinneka Tunggal Ika, yang melambangkan bangsa dan negara Indonesia yang tersusun dari unsur rakyat (bangsa) yang terdiri atas berbagai macam, suku, adat istiadat, golongan, kebudayaan, dan agama, dengan wilayah yang beribu-ribu pulau menyatu menjadi bangsa dan negara Indonesia.
Seloka ‘Bhinneka Tunggal Ika’ dipetik dari kitab Sutasoma atau Purudasanta dalam bahasa Jawa Kuno gubahan Empu Tantular, seloka ‘Bhinneka Tunggal Ika’pada hakikatnya merupakan suatu frase. Secara linguistis makna struktural seloka itu adalah ‘beda itu, satu itu’. Secara morfologis kata ‘Bhinneka” berasal dari kata polimorfemis yaitu ‘bhinna’ dan ‘ika’. Kata ‘Bhinna’ berasal dari Sansekerta ‘Bhid’yang artinya beda. Sedang ‘tunggal ika’ artinya satu itu.

C.    Zaman Penjajahan
Setelah Majapahit runtuh pada permulaan abad XVI maka berkembang agama Islam dengan pesat dan kerajaan-kerajaan Islamnya meliputi kerjaan Demak, dan mulai kedatangan orang-orang Eropa di Nusantara yang diikuti orang Spanyol. Pada akhir abad XVI bangsa Belanda datang dan mendirikan suatu perkumpulan dagang yang bernama V.O.C (Verenigde Oost Indische Compagnie) di kalangan rakyat Indonesia disebut ‘kompeni’.
Praktek-praktek VOC mulai kelihatan dengan paksaan-paksaan sehingga rakyat mulai mengadakan perlawanan. Karena tidak terkoordinasi dengan baik perlawanan rakyat mengalami kegagalan yang menimbulkan korban bagi anak-anak bangsa.

D.    Kebangkitan Nasional.
Partai Konggres di India dengan tokoh Tilak dan Gandhi, adapun di Indonesia bergolaklah kebangkitan akan kesadaran berbangsa yaitu kebangkitan nasional (1908) dipelopori oleh dr. Wahidin Sudirohusodo dengan Budi Utomo. Gerakan ini merupakan awal gerakan nasional untuk mewujudkan suatu bangsa yang merdeka, yang memiliki kehormatan dan martabat dengan kekuatannya sendiri.
     Budi Utomo yang didirikan pada tanggal 20 Mei 1908 ini merupakan pelopor pergerakan nasional, sehingga setelah itu muncullah organisasi pergerakan lainnya diantaranya : Sarekat Dagan Islam(SDI) (1909), kemudian mengubah bentuknya menjadi gerakan politik yaitu Sarekat Islam(SI) (1911).

E.     Zaman Penjajahan Jepang.
Pada tanggal 29 April 1945 Kaisar Jepang bersamaan dengan ulang tahunnya memberikan Indonesia ‘Kemerdekaan tanpa syarat’ , janji tersebut disampaikan kepada bangsa Indonesia sebelum Jepang menyerah.
Untuk mendapatkan simpati dan dukungan dari bangsa Indonesia maka sebagai realisai janjinya dibentuklah badan yang bertugas untuk menyelidiki usaha-usaha persiapan kemerdekaan Indonesia yaitu Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau Dokuritzu Zyunbi Tioosakai.


Sidang BPUPKI pertama. (29 Mei – 1 Juni 1945)
a)      Mr. Moh Yamin.(29 Mei 1945)
Dalam sidang mengemukakan lima asas dasar negara yaitu sebagai berikut :
1)      Peri Kebangsaan.
2)      Peri Kemanusiaan.
3)      Peri Ketuhanan.
4)      Peri Kerakyatan.
5)      Kesejahteraan Rakyat.
b)     Prof. Dr. Soepomo (31 Mei 1945).
Mengemukakan teori-teori negara sebagai berikut :
(1)   Teori negara perseorangan (Individualis), teori tentang negara adalah masyarakat hukum (legal society) yang disusun atas kontrak antara seluruh individu(contract social).
(2)   Paham negara kelas (Class theory), atau teori ‘golongan’. Teori bahwa negara adalah alat dari suatu golongan (suatu klasse) untuk menindas klasse lain.
(3)   Paham negara integralistik. Bahwa negara bukanlah untuk menjamin perseorangan atau golongan tetapi menjamin kepentingan masyarakat seluruhnya sebagai suatu persatuan. Negara adalah susunan masyarakat yang integral, segala golongan, bagian atau anggotanya saling berhubungan erat satu dengan lainnya dan merupakan kesatuan organis. Negara tidak memihak pada yang kuat atau paling besar tidak memandang kepentingan seseorang sebagai pusat tetapi negara menjamin keselamatan hidup bangsa seluruhnya sebagai suatu persatuan.
Soepomo juga mengemukakan tentang lima prinsip dasar negara sebagai berikut :
(1)   Persatuan.
(2)   Kekeluargaan.
(3)   Keseimbangan Lahir Batin.
(4)   Musyawarah.
(5)   Keadilan Rakyat.


c)      Ir. Soekarno (1 Juni 1945).
Beliau mengusulkan dasar negara yang terdiri dari lima prinsip yang rumusannya sebagai berikut :
(1)   Nasionalisme (Kebangsaan Indonesia).
(2)   Internasionalisme(peri kemanusiaan).
(3)   Mufakat(demokrasi).
(4)   Kesejahteraan sosial.
(5)   Ketuhanan Yang Maha Esa.
(Kebudayaan Yang Berkebudayaan).
Lima prinsip sebagai dasar negara tersebut kemudian oleh Soekarno diusulkan namanya “Pancasila” atas saran teman beliau yang ahli bahasa. Berikutnya kelima sila diperas menjadi “Tri Sila” yang meliputi : (1) Sosio-nasionalisme yang merupakan sintesis dari Kebangsaan (Nasionalisme) dengan peri kemanusiaan (internasionalisme), (2) Sosio-demokrasi merupakan sintesis dari ‘Mufakat” (demokrasi), dengan Kesejahteraan sosial, serta (3) Ketuhanan, beliau mengusulkan “Tri Sila” untuk diperas lagi menjadi Eka Sila yang intinya adalah ‘gotong-royong’.

Sidang BPUPKI kedua (10-16 Juli 1945).
Dalam rapat tanggal 10 Juli antara lain diambil keputusan tentang bentuk negara. Pada tanggal 11 Juli 1945 keputusan yang terpenting adalah tentang luas wilayah negara baru. Pada tanggal 14 Juli 1945 Badan Penyelidik bersidang lagi dan Panitia Perancang Undang-Undang Dasar melaporkan hasil pertemuannya. Susunan UUD 1945 yang diusulkan atas 3 bagian, yaitu: (a) Pernyataan Indonesia Merdeka, yang berupa dakwaan di muka dunia atas penjajahan Belanda, (b) Pembukaan yang didalamnya terkandung dasar negara Pancasila dan (c) Pasal-pasal Undang-Undang Dasar (Pringgodigdo, 1979: 169-170).

F.     Proklamasi Kemerdekaan dan Sidang PPKI.

Pada tanggal 8 Agustus 1945 Ir. Soekarno, Moh.Hatta, dan Dr. Radjiman  diberangkatkan ke Saigon atas panggilan Jendral Terauchi, beliau pada tanggal 9 Agustus1945 memberikan kepadanya 3 cap yaitu :
1)      Soekarno diangkat sebagai Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan, Moh.Hatta sebagai Wakil ketua, dan Radjiman sebagai anggota.
2)      Panitia persiapan boleh mulai bekerja pada tanggal 9 Agustus itu.
3)      Cepat atau tidaknya pekerjaan panitia diserahkan sepenuhnya kepada Panitia.
Panitia Persiapan Kemerdekaan atau Dokuritzu Zyunbi Inkai itu terdiri dari atas 21 orang, termasuk Ketua dan Wakil Ketua.
Berdasarkan fakta sejarah PPKI  awalnya badan bentukan Jepang kemudian berubah menjadi badan nasional sebagai badan pendahuluan bagi Komite Nasional.
Proklamasi 17 Agustus 1945. Setelah Jepang menyerah kepada sekutu, maka kesempatan digunakan sebaik-baiknya oleh bangsa Indonesia, meski terdapat perbedaan pendapat antara golongan muda dan golongan tua. Tetapi kemudian pada tanggal 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur 56 Jakarta, tepat hari jum’at legi jam 10 pagi waktu Indonesia Barat(jam 11.30 waktu Jepang). Naskah tersebut sebagai berikut:

                                                   Proklamasi
Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya.
Jakarta, 17 Agustus 1945 
Atas Nama Bangsa Indonesia
Soekarno-Hatta

Sidang PPKI
1)      Sidang pertama (18 Agustus 1945).
Sidang pertama menghasilkan keputusan-keputusan sebagai berikut :
a.          Mengesahkan Undang-Undang Dasar 1945yang meliputi :
(1)   Perubahan Piagam Jakarta sebagai Pembukaan  Undang-Undang Dasar 1945.
(2)   Menetapkan Hukum Dasar.
b.       Memilih Presiden dan Wakil Presiden yang pertama.
c.     Menetapkan Komite Nasional Indonesia Pusat sebagai badan musyawarah darurat.

2)      Sidang kedua (19 Agustus 1945).
Pada sidang kedua PPKI berhasil menentukan ketetapan sebagai berikut :
1)      Tentang daerah Propinsi, pembagiannya :
(a)    Jawa Barat, (b) Jawa Tengah, (c) Jawa Timur, (d) Sumatera,(e) Borneo, (f) Sulawesi, (g) Maluku, dan (h) Sunda kecil.
2)      Untuk sementara waktu kedudukan Kooti dan sebagian diteruskan seperti sekarang.
3)      Untuk sementara waktu kedudukan kota diteruskan seperti sekarang.
Hasil yang ketiga dalam sidang adalah dibentuknya Kementrian atau Departemen yang meliputi 12 Departemen.
3)  Sidang ketiga (20 Agustus 1945).
                 Pada sidang ketiga PPKI dilakukan perabahasan tentang ‘Badan Penolong Keluarga Korban Perang’, adapun keputusan lain adalah terdiri atas delapan pasal, yang salah satunya pasal 2 dibentuklah badan yang disebut ‘Badan Keamanan Rakyat’.
4) Sidang keempat (22 Agustus 1945).
                 Pada sidang keempat PPKI menbahas tentang agenda Komite Nasional Partai Nasional Indonesia, yang berpusat di Jakarta.



                        PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT

A.    Pengertian Filasat.
Dari segi etimologis. Menurut kata bahasa Inggris “philosophy”, kata Latin “philosophia”, kata Belanda “philosophis”, kata Jerman “philosophier”, kata Perancis “philosophic”, dan dalm kata Indonesia “filsafat”.
“Philosophia” adalah kata benda yang merupakan hasil dari kegiatan “philosophia” sebagai kata kerjanya. Dengan demikian istilah “filsafat” yang dimaksudkan sebagai kata majemuk dari “Philein” dan “sophos” mengandung arti, mencintai hal-hal yang sifatnya bijaksana, sedangkan “filsafat” yang merupakan bentuk majemuk dari “philos” dan “sophia” berkonotasi teman dari kebijaksanaan.
Jadi istilah filsafat merupakan suatu istilah yang secara umum dipergunakan untuk menyebutkan usaha ke arah keutamaan mental(the pursuit of mental exellence)(Ali Mudhofir, 1985)

B.     Rumusan Kesatuan Sila-sila Pancasila Sebagi Suatu Sistem

Pancasila terdiri atas lima sila pada hakikatnya merupakan suatu sistem filsafat. Pengertian sistem adalah suatu kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan, saling bekerja sama untuk suatu tujuan tertentu dan secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang utuh. Sistem lazimnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1)      Suatu kesatuan bagian-bagian.
2)      Bagian-bagian tersebut mempunyai fungsi sendiri-sendiri
3)      Saling berhubungan dan saling ketergantungan.
4)      Keseluruhannya dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan tertentu (tujuan sistem).
5)      Terjadi dalam suatu lingkungan yang kompleks (Shore voich, 1974).
Pancasila terdiri atas bagian-bagian yaitu sila-sila Pancasila setiap sila pada hakikatnya merupakan suatu asas sendiri, fungsi sendiri-sendiri namun secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang sistematis.

Kesatuan Sila-Sila Pancasila
1.      Susunan Kesatuan Sila-sila Pancasila yang Bersifat Organis.
Kesatuan sila-sila Pancasila yang bersifat organis pada hakikatnya secara filosofis bersumber pada hakikat dasar antologis manusia sebagai pendukung dari inti, isi dari sila-sila Pancasila yaitu hakikat manusia ‘monopltiralis’ yang memiliki unsur-unsur, ‘susunan kodrat’ jasmani-rokhani ‘sifat kodrat’ individu-makhluk sosial, dan ‘kedudukan kodrat’ sebagai pribadi sendiri makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Unsur-unsur hakikat manusia tersebut merupakan suatu kesatuan yang bersifat organis dan harmonis.
        Setiap unsur memiliki fungsi masing-masing namun saling berhubungan. Oleh karena itu sila-sila Pancasila merupakan penjelmaan hakikat manusia ‘monopluralis’ yang merupakan kesatuan organis maka sila-sila Pancasila juga memiliki kesatuan yang bersifat organis juga.
2.      Susunan Kesatuan Pancasila yang Bersifat Hierarkis dan Berbentuk Piramidal.
Susunan Pancasila hierarkhis dan mempunyai bentuk piramidal. Pengertian matematika piramidal digunakan untuk menggambarkan hubungan hirarkhi sila-sila dari Pancasila dalam urut-urutan luas (kwantitas) dan juga dalam hal sifat-sifatnya (kwalitas). Kalau dilihat dari intinya, urut-urutan lima sila menunjukkan suatu rangkaian tingkat dalam luasnya dan isi sifatnya, merupakan pengkhususan dari sila-sila yang dimukanya.
Dalam susunan hierarkhis dan piramidal ini, maka Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi basis kemanusiaan, persatuan Indonesia, kerakyatan dan keadilan sosial. Sebaliknya Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang berkemanusiaan, yang membangun, memelihara dan mengembangkan persatuan Indonesia, yang berkerakyatan dan berkeadilan sosial demikian selanjutnya, sehingga tiap-tipa sila didalamnya mengandung sila-sila lainnya.
  
Rumusan yang bersifat Hierarkhis dan Berbentuk Piramidal
1)      Sila pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa adalah meliputi dan menjiwai sila-sila kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2)      Sila kedua : Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah diliputi dan dijiwai sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah menjiwai sila-sila persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dan permusyawarata/perwakilan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
3)      Sila ketiga : Persatuaan Indonesia adalah diliputi Ketuhanan Yang Maha Esa adalah meliputi dan menjiwai sila-sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dan permusyawaratan/perwakilan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
4)      Sila keempat : kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, adalah diliputi dan dijiwai oleh sila-sila Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, meliputi dan menjiwai sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
5)      Sila kelima : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah diliputi dan dijiwai oleh sila-sila ketuhanan Yang maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan permusyawaratan/perwakilan.
Secara antologis (hakikat) sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem bersifat hierarkhis dan berbentuk piramidal adalah sebagai berikut : bahwa hakikat adanya Tuhan adalah ada karena dirinya sendiri, Tuhan sebagai kausa prima.

3.      Hubungan Sila-sila Pancasila yang Saling Mengisi dan Saling Mengkualifikasi
Sila-sila Pancasila sebagai kesatuan dapat dirumuskan pula dalam hubungannya saling mengisi atau mengkualifikasi dalam rangka hubungan hierarkhis piramidal tadi. Tiap-tiap sila seperti telah disebutkan diatas mendukung empat sila lainnya, dikualifikasi oleh empat sila lainnya. Untuk kelengkapan dari hubungan kesatuan keseluruhan dari sila-sila Pancasila dipersatukan dengan rumus hierarkhis tersebut di atas.

C.    Kesatuan Sila-sila Pancasila sebagai Suatu sistem Filsafat
Secara filosofis Pancasila sebagai kesatuan sistem filsafat memiliki dasar antologis, dasar epistemologis dan dasar aksiologis sendiri yang berbeda dengan sistem filsafat yang lainnya misalnya materialisme, liberalisme, pragmatisme, komunisme, idealisme, dan paham lain filsafat di dunia.

a.      Dasar Antopologis (hakikat manusia) Sila-sila Pancasila
Dasar antologis Pancasila pada hakikatnya adalah manusia yang memiliki hakikat mutlak monopluralis, oleh karena itu hakikat dasar ini juga disebut sebagai dasar antropologis. Subjek pendukung pokok Pancasila adalah manusia, hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut : bahwa yang berketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang persatuan, yang berkerakyatan yang dpimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilanserta yang berkeadilan sosial pada haikikatnya adalah manusia(Notonagoro, 1975 : 23)
        Demikian juga jika kita pahami dari segi filsafat negara bahwa Pancasila adalah dasar filsafat negara, adapun pendukung pokok negara adalah rakyat dan unsur rakyat adalah manusia itu sendiri, sehingga tepat jika dalam filsafat Pancasila bahwa hakikat dasar antropologis sila-sila Pancasila adalah manusia.

b.      Dasar Epistemologis (pengetahuan) Sila-sila Pancasila
Dasar epistemologis Pancasila pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dengan dasar antropologisnya. Pancasila sebagai suatu ideologi bersumber pada nilai-nilai dasarnya yaitu filsafat Pancasila (Soeryanto, 1991:50). Oleh karena itu, dasar epistomologis Pancasila tidak dapat dipisahkan dengan konsep dasarnya tentang haikikat manusia. Kalau manusia merupakan basis ontologis dari Pancasila, maka dengan demikian mempunyai implikasi terhadap bangunan epistemologi, yaitu bangunan epistemologi yang ditempatkan dalam bangunan filsafat manusia(Pranarka, 1996:32).
Terdapat tiga persoalan dasar dalam dasar epistemologi yaitu: pertama  tentang sumber pengetahuan manusia, kedua tentang teori kebenaran pengetahuan manusia, ketiga tentang watak pengetahuan manusia. Sebagai suatu paham epistomologi maka Pancasila mendasarkan pada pandangannya bahwa ilmu pengetahuan pada hakikatnya tidak bebas nilai karena harus diletakkan pada kerangka moralitas kodrat manusia serta moralitas religius dalam upaya untuk mendapatkan suatu tingkatan pengetahuan yang mutlak dalam hidup manusia.

c.         Dasar Aksiologis (nilai) Sila-sila Pancasila
Sila-sila sebagai suatu sistem filsafat juga memiliki satu kesatuan dasar aksiologisnya sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila pada hakikatnya juga merupakan suatu kesatuan. Terdapat berbagai macam teori tentang nilai dan hal ini sangat tergantung pada titik tolak dan sudut pandangnya masing-masing dalam menentukan tentang pengertian nilai dan hierarkhinya. Misalnya kalangan materialis memandang nilai yang tertinggi adalah nilai material, kalangan hedonis  memandang nilai tertinggi adalah nilai kenikmatan.

Nilai-nilai Pancasila sebagai Suatu Sistem.
        Pancasila merupakan suatu sistem nilai dapat dilacak dari sila-sila Pancasila, yang merupakan suatu sistem. Sila-sila itu merupakan kesatuan organik. Antara sila satu dan lainnya dalam Pancasila itu saling mengkualifikasi saling berkaitan dan berhubungan secara erat. Dalam pengertian yang demikian ini pada hakikatnya Pancasila itu merupakan suatu sistem nilai, dalam artian bahwa bagian-bagian atau sila-silanya saling berhubungan secara erat sehingga membentuk suatu struktur yang menyeluruh.

D.    Pancasila sebagai Nilai Dasar Fundamental bagi Bangsa dan Negara Republik Indonesia

a.      Dasar filosofis. Pancasila sebagai dasar filsafat negara serta sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia pada hakikatnya merupakan suatu nilai-nilai yang bersifat sistematis, fundamental, dan menyeluruh. Maka sila-sila Pancasila merupakan suatu kesatuan yang bulat dan utuh, hierarkhis dan sistematis. Dalam pengertian inilah maka sila-sila Pancasila merupakan suatu sistem filsafat. Konsekuensinya kelima sila bukan terpisah-pisah dan memiliki makna sendiri-sendiri, melainkan memiliki esensi serta makna yang utuh.

b.    Nilai-nilai Pancasila sebagai Dasar Fundamental Negara
Nilai-nilai Pancasila terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 secara yuridis memiliki kedudukan sebagai Pokok Kaidah Negara yang Fundamental. Adapun Pembukaan UUD 1945  yang didalamnya memuat nilai-nilai Pancasila mengandung Empat Pokok Pikiran yang bilamana dianalisis makna yang terkandung didalamnya tidak lain adalah derivasi atau penjabaran dari nilai-nilai Pancasila.
Pokok Pikiran Pertama menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara persatuan, yaitu negara yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mengatasi segala paham golongan maupun perseorangan. Hal ini merupakan penjabaran sila ketiga.
Pokok pikiran kedua menyatakan bahwa negara hendak mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam hal ini negara berkewajiban mewujudkan kesejahteraan umum seluruh warga negara. Mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Hal ini penjabaran sila kelima.
Pokok pikiran ketiga menyatakan bahwa negara berkedaulatan rakyat. Berdasarkan atas kerakyatan dan permusyawratan/ perwakilan. Hal ini menunjukkan Indonesia adalah negara demokrasi yang berkedaulatan rakyat. Hal ini penjabaran sila keempat.
Pokok Pikiran keempat menyatakan bahwa negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab ketuhanan Yang Maha Esa serta Kemanusiaan Yang adil dan beradab ini, merupakan sumber moral dalam kehidupan kenegaraan dan kebangsaan. Hal ini mengadung arti negara Indonesia menjujung tinggi keberadaan semua agama dalam pergaulan hidup negara. Hal ini penjabaran sila pertama dan kedua.
                        Disimpulkan bahwa keempat pokok pikiran tersebut tidak lain merupakan perwujudan dari sila-sila Pancasila. Pokok pikiran ini sebagai dasar, fundamental dalam pendirian negara, yang realisasi berikutnya perlu diwujudkan atau dijelmakan lebih lanjut dalam pasal-pasal UUD 1945.
E.     Inti isi Sila-sila Pancasila
Berikut ini menjelaskan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila, namun kesemuanya itu tidak dapat dilepaskan keterkaitannya dengan sila-sila lainnya. Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila adalah sebagai berikut :
1)      Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila ini terkandung nilai bahwa negara yang didirikan ini sebagai pengejawantahan tujuan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu segala hal yang berkaitan dengan pelaksanaan dan penyelenggaraan negara lainnya harus dijiwai nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.
Negara Indonesia adalah negara kebangsaan yang mengakui Ketuhanan Yang Maha Esa. Konsekuensinya bahwa negara memberikan kebebasan yang asasi terhadap semua warganya untuk percaya dan meyakini adanya Tuhan sesuai dengan keyakinan agama masing-masing.
2)      Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Terkandung nilai-nilai bahwa negara harus menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia dan dijamin dalam peraturan perundang-undangan negara. Nilai kemanusiaan yang beradab adalah perwujudan nilai kemanusiaan sebagai makhluk yang berbudaya, bermoral,dan beragama.
Pengertian bahwa hakikat manusia harus adil dalam hubungan dengan diri-sendiri, adil terhadap manusia lain, adil terhadap masyarakat bangsa dan negara, adil terhadap lingkungannya serta adil terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Konsekuensinya nilai kemanusiaan yang adil dan beradab adalah menjujung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi HAM, menghargai atas kesamaan hak dan derajat tanpa membedakan suku, ras, keturunan, status sossial maupun agama. Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia, tenggang rasa, tidak semena-mena terhadap sesama manusia, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan (Darmodihardjo, 1996).
3)      Sila Persatuan Indonesia. Dalam sila Persatuan Indonesia terkandung nilai bahwa negara adalah sebagai penjelmaan sifat kodrat manusia monodualis yaitu sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Konsekuensinya negara adalah beraneka ragam tetapi satu, mengikat diri dalam suatu persatuan dilukiskan dengan seloka Bhinneka Tunggal Ika. Perbedaan diruncingkan untuk konflik dan permusuhan tetapi diarahkan pada sintesis persatuan dalam kehidupan bersama untuk mewujudkan tujuan bersama.
Nilai persatuan Indonesia didasari dan dijiwai oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Hal ini terkandung nilai bahwa nasionlisme Indonesia adalah nasionalisme religius yaitu nasionalisme yang bermoral Ketuhanan Yang Maha Esa.
4)      Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/perwakilan.
Nilai didalam sila ini didasari oleh keempat sila lainnya. Nilai filosofis yang terkandung didalamnya bahwa hakikat negara adalah sebagai penjelmaan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Hakiakt rakyat adalah sekelompok manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa yang bersatu untuk mewujudkan harkat dan martabat manusia dalam suatu wilayah negara.
Rakyat adalah subjek pendukung pokok negara. Negara adalah dari, oleh, untuk rakyat, oleh karena itu rakyat adalah asal mula kekuasaan negara. Sehingga dalam sila kerakyatan terkandung nilai demokrasi yang secara mutlak harus dilaksanakan dalam hidup negara. Demokrasi dalam sila keempat adalah demokrasi yang mendasarkan pada moral ketuhanan, kemanusiaan, dan nilai persatuan.
5)      Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Nilai yang terkandung dalam sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia didasari oleh sila-sila keempat lainnya. Dalam nilai sila kelima tersebut terkandung nilai-nilai yang merupakan tujuan negara sebagai tujuan dalam hidup bersama. Keadilan didasari dan dijiwai oleh hakikat kemanusiaan yaitu keadilan dalam hubungan manusia dengan diri sendiri, manusia dengan manusia lain, manusia dengan masyarakat, bangsa dan negaranya serta hubungannya dengan Tuhannya. Konsekuensinya nilai-nilai keadilan meliputi ;
1.      Keadilan distributif, yaitu suatu hubungan keadilan antara negara terhadap warganya, dalam arti pihak negaralah yang wajib memenuhi keadilan dalam bentuk keadilan membagi, dalam bentuk kesejahteraan, bantuan, subsidi, serta kesempatan dalam hidup bersama yang didasarkan atas hak dan kewajiban.
2.      Keadilan legal, yaitu suatu hubungan keadilan antara warga negara dengan negara dan dalam masalah ini wargalah yang wajib memenuhi keadilan dalam bentuk menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam negara.
3.      Keadilan komutatif, yaitu suatu hubungan keadilan antara warga satu dengan yang lainnya secara timbal balik.
Nilai-nilai keadilan harus merupakan suatu dasar yang harus diwujudkan dalam hidup bersama kenegaraan untuk mewujudkan tujuan negara.

Etika Politik Berdasarkan Pancasila

Pengertian etika.
 Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral.
Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggungjawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral (Suseno, 1987).

Pengertian Nilai, Norma, dan Moral
1.      Pengertian Nilai. Nilai atau “Value” (bhs. Inggris) termasuk bidang kajian filsafat, cabang filsafat yang dipelajari yaitu Filsafat Nilai (Axiology, Theory of Value). Nilai itu pada hakikatnya adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek, bukan objek itu sendiri. Menilai berarti menimbang, suatu kegiatan manusia untuk menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain, untuk selanjutnya diambil keputusan. Di dalam nilai itu sendiri terkandung cita-cita, harapan-harapan, dambaan-dambaan, dan keharusan.
2.      Hierarkhi nilai. Pada hakikatnya segala sesuatu itu bernilai, hanya nilai macam apa yang ada serta bangaimana hubungan nilai itu pada manusia. Menurut tinggi rendahnya, nilai-nilai dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu sebagai berikut :
1.      Nilai kenikmatan
2.      Nilai-nilai kehidupan
3.      Nilai-nilai kejiwaan
4.      Nilai-nilai kerohanian
Notonegoro berpendapat bahwa nilai-nilai Pancasila tergolong nilai-nilai kerokhanian, tetapi nilai-nilai kerokhanian yang mengakui adanya nilai material dan nilai vital. Dengan demikian nilai-nilai secara lengkap dan harmonis, baik nilai material, nilai vital, nilai kebenaran, nilai keindahan atau nilai estetis, nilai kebaikan atau nilai moral, maupun nilai kesucian yang sitematis-hirarkhis, yang dimulai dari sila Ketuhanan Yang Mha Esa sebagai ‘dasar’ sampai dengan sila Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai ‘tujuan’ (Darmodiharjo, 1996).

3.      Nilai-nilai Pancasila sebagai Sumber Etika Politik.
Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, etika politik menuntut agar kekuasaan negara dijalankan sesuai dengan (1) asas legalitas (legitimasi hukum), yaitu dijalankan sesuai hukum yang berlaku, (2) disahkan dan dijalankan secara demokratis(legitimasi demokratis), dan (3) dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip moral atau tidak bertentangan dengannya (legitimasi moral). Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki tiga dasar tersebut. Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara,baik menyangkut kekuasaan, kebijaksanaan yang menyangkut publik pembagian serta kewenangan harus berdasarkan legitimasi moral, religius, dan moral kemanusiaan (sila II).

4.      Pancasila sebagai Budaya Bangsa Indonesia.
Dalam proses terjadinya Pancasila dirumuskan oleh para pendiri Negara Indonesia dengan menggali nilai-nilai yang dimiliki bangsa Indonesia. nilai-nilai terdapat dalam budaya Bangsa Indonesia sebelum mendirikan Negara.
Secara kausalitas Pancasila sebelum disahkan sebagai dasar filsafat negara nilai-nilainya telah ada dan berasal dari bangsa Indonesia sendiri yang berupa nilai-nilai adat istiadat, kebudayaan, dan nilai-nilai religius. Maka secara kausalitas asal mula Pancasila dibedakan menjadi dua
yaitu :
1.      Asal Mula Yang Langsung.
Asal mula yang langsung tentang Pancasila adalah asal mula yang langsung terjadinya Pancasila sebagai dasar filsafat negara. Asal mula dibedakan atas empat macam yaitu:
Asal mula bahan(Kausa Materialis). Asal bahan Pancasila adalah pada bangsa Indonesia sendiri yang terdapat dalam kepribadian dan pandangan hidup bangsa Indonesia. dalam pengertian ini Pancasila sebagai local wisdom bangsa Indonesia.
Asal mula bentuk (Kausa Formalis). Asal mula bentuk Pancasila adalah Ir. Soekarano dan Moh. Hatta serta anggota BPUPKI lainya sebagai pembentuk negara dan telah membentuk rumusan dan nama Pancasila.
Asal mula karya (Kausa Effisien).  Kausa effisien atau asal mula karya yaitu asal mula yang menjadikan Pancasila sebagai calon dasar negara menjadi dasar negara.
Asal mula tujuan (Kausa Finalis). Pancasila dirumuskan dan dibahas dalam sidang-sidang para pendiri negara, tujuannya adalah untuk dijadikan sebagai dasar negara, asal mula tujuan tersebut yaitu BPUPKI serta Ir. Soekarno dan anggota lainnya.
2.      Asal Mula Tidak Langsung.
Secara kausalitas asal mula yang tidak langsung Pancasila adalah asal mula sebelum Proklamasi Kemerdekaan. Maka asal mula tidak langsung Pancasila bilamana dirinci adalah sebagai berikut :
(1)   Unsur-unsur Pancasila  sebelum secara langsung dirumuskan menjadi dasar filsafat negara.
(2)   Nilai-nilai terkandung dalam pandangan hidup masyarakat Indonesia sebelum membentuk negara.
(3)   Disimpulkan bahwa asal mula tidak langsung Pancasila pada hakikatnya adalah bangsa Indonesia sendiri.

F.     Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa.
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa merupakan suatu kristalisasi dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia, maka pandangan hidup tersebut harus dijunjung tinggi oleh warganya karena pandangan hidup Pancasila berakar pada budaya dan pandangan hidup masyarakat. Dengan pandangan hidup yang Bhinneka Tunggal Ika tersebut harus merupakan asa pemersatu bangsa Indonesia sehingga tidak boleh mematikan keanekaragaman.

G.    Pancasila sebagai Dasar Filsafat Negara (Philosofische Grondslag).
Kedudukan pokok Pancasila adalah sebagai dasar filsafat Negara Republik Indonesia. Pancasila merupakan dasar filsafat negara(asas kerokhanian negara), pandangan hidup dan filsafat hidup.
Dengan seluruh aspek penyelenggaraan negara diliputi dan dijelmakan oleh asas kerokhanian Pancasila, dalam pengertian ini maka kedudukan Pancasila sebagai asas kerokhanian dan dasar filsafat negara Indonesia.
Bagi bangsa dan negara Indonesia, dasar filsafat dalam kehidupan bersama itu adalah Pancasila. Pancasila sebagai core philosophy negara Indonesia, sehingga konsekuensinya merupakan esensi staatsfundamentalnorm bagi reformasi konstitusionalisme.

H.    Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka.
Pancasila sebagai suatu ideologi tidak bersifat kaku dan tertutup, namun bersifat terbuka. Hal ini dimaksudkan bahwa ideologi Pancasila adalah bersifat aktual, dinamis, antisipasif dan senantiasa mampu menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Keterbukakan ideologi Pancasila bukan berarti mengubah nilai-nilai dasar Pancasila namun mengeksplisitkan wawasannya secara kongkrit, sehingga memiliki kemampuan yang lebih tajam untuk memecahkan masalah-masalah baru dan aktual.
Sebagai suatu ideologi yang bersifat terbuka maka Pancasila memiliki dimensi sebagai berikut :
(1)   Dimensi idealis.
(2)   Dimensi normatif.
(3)   Dimensi realistis.

I.       Pancasila sebagai Asas Persatuan dan Kesatuan Bangsa Indonesia.
Bangsa Indonesia terdiri atas berbagai macam suku bangsa yang dengan sendirinya memiliki kebudayaan dan adat istiadat yang berbeda-beda pula. Namun perbedaan itu harus disadari sebagai sesuatu yang memang ada pada setiap manusia (suku bangsa) sebagai makhluk pribadi dan sudah bersifat biasa. Demikian dengan adanya kesatuan asas kerokhanian yang kita miliki, maka perbedaan itu harus dibina ke arah suatu kerjasama dalam memperoleh kebahagiaan bersama. Dengan adanya kesamaan dan kesatuan asas kerokhanian dan kesatuan ideologi, maka perbedaan itu perlu diarahkan pada suatu persatuan.
Maka fungsi dan kedudukan asas, Pancasila sebagai asas kerokhanian, sebagai asas persatuan, kesatuan, dan asas kerjasama bangsa Indonesia. Maka dengan ini membina, mengembangkan, membangkitkan, memperkuat persatuan dalam suatu pertalian bangsa menjadi sangat berarti, sehingga persatuan dan kesatuan tidak hanya bersifat statis tetapi juga dinamis.

J.      Pancasila sebagai Jati Diri Bangsa Indonesia.
Ketika para pendiri negara Indonesia menyiapkan berdirinya negara Indonesia merdeka, mereka sadar sepenuhnya untuk menjawab suatu pertanyaan yang fundamental ‘diatas dasar apakah negara Indonesia merdeka didirikan?’. Dengan menjawab yang mengandung makna hidup bagi bangsa Indonesia sendiri yang merupakan perwujudan dan pengejawantahan nilai-nilai yang dimiliki, diyakini, dihayati kebenarannya oleh masyarakat sepanjang masa dalam sejarah perkembangan dan pertumbuhan bagsa sejak lahir. Maka Pancasila yang kausa materialisnya bersumber pada nilai-nilai budaya bangsa ini, istilah Margareth Mead, Ralp Linton, dan Abraham Kardiner dalam Anthropology to Day, disebut sebagai National Character. Kemudian Linton lebih condong dengan istilah Peoples Character, atau dalam suatu negara disebut sebagai National Identity (Kroeber, 1954; Ismaun, 1981: 7), atau menurut istilah populer disebut ‘Jati Diri’ bangsa Indonesia. 
















































Tidak ada komentar:

Posting Komentar