PENDIDIKAN PANCASILA
Pengarang : Prof. Dr. Kaelan, M.S
Book Review ini
dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Pancasila
Dosen Pembimbing : Muhammad Julijanto, S.Ag., M.Ag
DI SUSUN OLEH :
Nama :Rima
Marga Reta
NIM :
155121084
Judul Buku :
Pendidikan Pancasila
Pengarang/ Penulis :
Prof. DR. H. KAELAN, MS
Penerbit :
PARADIGMA
Kota Terbit :
YOGYAKARTA
Tahun Terbit :
2014
Tebal Buku :
270 + vii
Indeks :
Tidak Ada
Daftar Pustaka :
Ada
Biodata Penulis :
Tidak Ada
Kata Pengantar :
Ada
ISBN :
Ada
·
Isi Buku Secara Umum
Pendidikan Pancasila
merupakan buku mengenai sejarah dan pengertian awal lahirnya Pancasila yang
menjadi dasar filsafat negara Republik Indonesia serta menjelaskan kedudukan
dan fungsi Pancasila yang seharusnya, yang kini mengalami berbagai macam
interpretasi dan manipulasi politik sesuai dengan kepentingan penguasa dengan
berlindung di balik legitimasi ideologi Pancasila agar tetap kokoh dan tegak.
Berdasarkan kenyataan tersebut gerakan reformasi berupaya untuk mengembalikan
kedudukan dan fungsi Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang
direalisasikan melalui Ketetapan sidang Istimewa MPR tahun 1998 No.XVIII/MPR/1998
disertai dengan pencabutan P-4 dan sekaligus juga pencabutan Pancasila sebagai
satu-satunya asas bagi Orsospol Indonesia. Ketetapan juga mencabut mandat MPR yang
diberikan kepada Presiden atas kewenangannya membudayakan Pancasila melalui P-4
dan asas tunggal Pancasila.
Kehidupan kenegaraan Indonesia sistem politik,
kedaulatan rakyat, realisasi bentuk negara, sistem demokrasi, kekuasaan negara,
partai politik, serta otonomi daerah, nampak tidak konsisten dengan dasar
filosofis negara Pancasila. Nampaknya sistem Liberalisme das sein (dalam kenyataannya) dihayati bagaikan agama dalam
kehidupan kenegaraan dan kebangsaan Indonesia. Kedaulatan negara yang
seharusnya diletakkan pada rakyat, namun dalam kenyataannya berhenti pada
kekuasaan elit politik negara, penguasa negara, partai politik serta kalangan
politik. Oleh karena itu kiranya merupakan tugas berat kalangan intelektual
untuk mengembalikan sistem negara ini pada demokrasi yang subsansial, demokrasi
yang benar-benar berbasis pada kedaulatan rakyat dan bukannya para penguasa
politik, penguasa negara, serta kapitalis yang oligarkhi.
A.
LANDASAN
PENDIDIKAN PANCASILA
1. Landasan
Historis. Proses sejarah bangsa Indonesia yang dimulai dari masa kerajaan
Kutai, Sriwijaya, Majapahit sampai datang bangsa lain yang menjajah bangsa Indonesia,disertai dengan berjuang untuk menemukan jati diri
bangsa sebagai suatu bangsa yang merdeka, mandiri serta mempunyai prinsip yang
tersimpul dalam pandangan hidup dan filsafat bangsa. Jadi secara historis bahwa
nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila Pancasila sebelum dirumuskan dan
disahkan menjadi dasar Negara Indonesia secara obyektif telah dimiliki oleh
bangsa Indonesia sendiri. Sehingga asal nilai-nilai Pancasila tersebut tidak
lain adalah dari bangsa Indonesia sendiri, atau dengan kata lain bangsa
Indonesia sebagai kausa materialis Pancasila.
Oleh karena itu berdasarkan fakta obyektif secara
historis kehidupan bangsa Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai
Pancasila.
2.
Landasan Kultural. Bangsa Indonesia
mendasarkan pandangan hidupnya dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara pada
satu asas kutural yang dimiliki dan melekat pada bangsa itu sendiri.
Nilai-nilai kenegaraan dan kemasyarakatan yang terkandung dalam sila-sila
Pancasila bukan hanya merupakan hasil konseptual seseorang saja melainkan
merupakan suatu hasil karya besar bangsa Indonesia itu sendiri, yang diangkat
dari nilai-nilai kultural yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri melalui
proses refleksi filosofis para pendiri bangsa, yaitu Soekarno, M.Yamin,
Soepomo, M.Hatta serta pendiri bangsa lainnya. Satu-satunya karya besar
Indonesia yang sejajar dengan karya bangsa lain di dunia adalah hasil pemikiran
tentang bangsa dan negara yang mendasarkan pandangan hidup suatu nilai yang
tertuang dalam sila-sila Pancasila.
3. Landasan Yuridis. Dalam landasan Yuridis telah
tertuang dalam Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-Undang
No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 2 yang mengandung
makna bahwa secara material Pancasila merupakan sumber hukum pendidikan nasional. Undang-Undang PT No. 12 Tahun 2012
Pasal 35 ayat 3 dicantumkan bahwa kurikulum
Pendidikan Tinggi wajib memuat Mata Kuliah Pendidikan Agama, Pendidikan Pancasila,
Pendidikan Kewarganegaraan serta Bahasa Indonesia. Dengan demikian perkuliahan
Pancasila memiliki landasan yuridis.
4. Landasan
Filosofis. Pancasila sebagai dasar filsafat negara dan pandangan filosofis
bangsa Indonesia. Secara filosofis, bangsa Indonesia sebelum mendirikan negara
adalah bangsa yang berketuhanan dan berkemanusiaan serta dengan syarat mutlak
adalah rakyat karena rakyat merupakan unsur pokok suatu negara dan asal mula
kekuasaan negara.
B.
Tujuan
Pendidikan Pancasila
Secara singkat tujuan Pendidikan
Pancasila, yaitu:
·
Untuk menghasilkan peserta didik yang
berperilaku.
·
Memiliki kemampuan untuk mengambil sikap
yang bertanggungjawab sesuai dengan hati nuraninya.
·
Memiliki kemampuan untuk mengenali
masalah hidup dan kesejahteraan serta cara-cara pemecahannya.
·
Mengenali perubahan-perubahan dan
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, serta
·
Memiliki kemampuan untuk memaknai peristiwa
sejarah dan nilai-nilai budaya bangsa untuk menggalang persatuan Indonesia.
C.
Pembahasan
Pancasila secara Ilmiah
Pembahasan Pancasila
termasuk filsafat Pancasila, sebagai suatu kajian ilmiah, harus memenuhi
syarat-syarat ilmiah yang dikemukakan oleh IR. Poedjowijatno dalam bukunya
“Tahu dan Pengetahuan”, yaitu sebagai berikut:
1. Berobjek.
Semua ilmu pengetahuan itu harus memiliki objek, sehingga pembahasan Pancasila
secara ilmiah harus memiliki objek, yang di dalam filsafat ilmu pengetahuan
dibedakan menjadi dua macam yaitu ‘objek forma’ dan ‘objek materia’.
‘Objek Forma’ Pancasila adalah suatu
sudut pandang tertentu dalam pembahasan Pancasila, atau dari sudut pandang apa
Pancasila itu dibahas. Pada hirarkinya Pancasila dapat dibahas dalam berbagai
sudut pandang, yaitu di antaranya sudut pandang moral, sudut pandang
ekonomi,sudut pandang pers, sudut pandang hukum dan kenegaraan, sudut pandang
filsafat, dan lain sebagainya.
‘Objek Materia
Pancasila adalah suatu objek yang merupakan sasaran pembahasan dan pengkajian
Pancasila baik yang bersifat empiris maupun nonempiris. Pancasila adalah hasil
budaya bangsa Indonesia, bangsa Indonesia sebagai kausa materialis
Pancasila(asal mula nilai-nilai Pancasila).
Oleh karena itu objek materia pembahasan
Pancasila adalah berupa hasil budaya bangsa Indonesia yang berupa, lembaran
sejarah, bukti-bukti sejarah, benda-benda sejarah, benda-benda budaya, lembaran
negara, lembaran hukum maupun naskah-naskah kenegaraan lainnya maupun adat
istiadat bangsa Indonesia sendiri.
2. Bermetode.
Karena objek Pancasila banyak berkaitan dengan hasil-hasil budaya dan objek sejarah maka lazim digunakan metode
‘hermeneutika’ yaitu suatu metode untuk menemukan makna dibalik objek, demikian
juga metode’analitika bahasa’, serta metode ‘pemahaman, penafsiran, dan
interpretasi’, dan metode tersebut senantiasa didasarkan oleh hukum-hukum
logika dengan penarikan kesimpulan.
3. Bersistem.
Pembahasan Pancasila secara ilmiah dengan sendirinya sebagai suatu sistem dalam
dirinya sendiri yaitu ada pada Pancasila itu sendiri sebagai objek pembahasan
ilmiah senantiasa bersifat koheren (runtut), tanpa adanya suatu pertentangan di
dalamnya, sehingga sila-sila Pancasila itu sendiri merupakan suatu kesatuan
yang sistematik.
4. Bersifat
Universal. Dalam kaitannya dengan kajian Pancasila hakikat ontologis
nilai-nilai Pancasila adalah bersifat universal, atau dengan lain perkataan
inti sari, essensi atau makna yang terdalam dari sila-sila Pancasila pada
hakikatnya bersifat universal.
Tingkatan
Pengetahuan Ilmiah.
Tingkatan
pengetahuan ilmiah ini lebih menekankan pada karakteristik pengetahuan
masing-masing. Tingkatan pengetahuan ilmiah sangat ditentukan oleh macam
pertanyaan ilmiah, yaitu sebagai berikut:
Pengetahuan deskriptif ~ suatu pertanyaan ‘bagaimana’
Pengetahuan kausal ~ suatu pertanyaan ‘mengapa’
Pengetahuan
normatif ~ suatu pertanyaan ‘kemana’
Pengetahuan
essensial ~ suatu
pertanyaan ‘apa’
1. Pengetahuan
Deskriptif. Dengan menjawab pertanyaan ‘bagaimana’, maka akan memperoleh suatu
pengetahuan ilmiah yang deskriptif. Dalam mengkaji Pancasila harus menerangkan,
menjelaskan, serta menguraikan Pancasila secara objektif sesuai dengan
kenyataan Pancasila itu sendiri sebagai hasil budaya bangsa Indonesia.
2. Pengetahuan
Kausal. Dengan memberikan jawaban dari pertanyaan ilmiah ‘mengapa’, maka akan
diperoleh suatu pengetahuan kausal, yaitu suatu pengetahuan yang memberikan
jawaban tentang sebab dan akibat.Proses kausalitas terjadinya Pancasila yang
meliputi empat kausa yaitu: materialis, formalis, effisien, dan finalis.
3. Pengetahuan
Normatif. Tingkatan pengetahuan ‘normatif’ adalah sebagai hasil dari pertanyaan
ilmiah ‘kemana’. Pengetahuan normatif senantiasa berkaitan dengan suatu ukuran
, parameter, serta norma-norma. Pancasila perlu dikaji norma-normanya, karena
Pancasila itu untuk diramalkan, direalisasikan serta dikongkritisasikan. Untuk
itu harus jelas, terutama dalam kaitannya dengan norma hukum, kenegaraan, serta
norma-norma moral.
4.
Pengetahuan Essensial. Tingkat
pengetahuan untuk menjawab suatu pertanyaan terdalam yaitu pertanyaan tentang
hakikat segala sesuatu dan hal ini dikaji dalam bidang filsafat.Oleh karena itu
kajian Pancasila secara essensial pada hakikatnya untuk mendapatkan suatu
pengetahuan tentang inti sari atau makna yang terdalam dari sila-sila
Paancasila.
Lingkup
Pembahasan Pancasila Yuridis Kenegaraan
Pancasila sebagai objek pembahasan ilmiah memiliki ruang
lingkup yang sangat luas, tergantung pada objek forma apa sudut pandang
pembahasannya masing-masing. Adapun bila Pancasila dibahas dari sudut pandang
yuridis kenegaraan maka bidangnya ‘Pancasila Yuridis Kenegaraan’. Pancasila
yuridis kenegaraan meliputi pembahasan Pancasila dalam kedudukannya sebagai
dasar negara Republik Indonesia, sehingga meliputi realisasi Pancasila dalam
segala aspek penyelenggaraan negara secara resmi baik norma hukum maupun norma
moral dalam kaitannya dengan segala aspek penyelenggaraan negara.
A.
Beberapa
Pengertian Pancasila.
1.
Pengertian
Pancasila secara Etimologis.
Secara etimologis kata
Pancasila berasal dari bahasa Sangsekerta yang artinya peraturan tingkah laku
yang baik, yang penting atau yang senonoh. Ajaran Pancasila menurut Budha
adalah lima aturan (larangan) atau five
principles, yang seharusnya ditaati dan dilaksanakan oleh para penganut
biasa atau awam.
2.
Pengertian
Pancasila secara Historis.
Dengan diawali sidang
BPUPKI yang mengajukan masalah tentang suatu calon rumusan dasar negara
Indonesia yang akan dibentuk, hingga pada 1 Juni1945 Ir. Soekarno secara lisan
berpidato dengan memberi istilah dasar negara yang disebutnya Pancasila yang
artinya lima dasar.
Pada tanggal 17 Agustus Indonesia
memproklamasikan kemerdekaan yang keesokkan harinya tanggal 18 Agustus 1945
disahkannya Undang-Undang Dasar dimana termuat juga isi rumusan lima prinsip
atau lima dasar tersebut.
a. Ir.
Soekarno (1 Juni 1945)
Soekarno mengusulkan lima asas sebagai
dasar negara, yang rumusannya yaitu :
1. Nasionalisme
atau Kebangsaan Indonesia.
2. Internasionalisme
atau Perikemanusiaan.
3. Mufakat
atau Demokrasi.
4. Kesejahteraan
Sosial.
5. Ketuhanan
yang berkebudayaan.
Pada
tahun 1947 Soekarno berpidato diterbitkan dan dipublikasikan dan diberi
judul”Lahirnya Pancasila” pada tanggal 1 Juni.
b. Piagam
Jakarta
Dalam Piagam Jakarta termuat rumusan
Pancasila sebagai
berikut :
1. Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
2. Kemanusiaan
yang adil dan beradab.
3. Persatuan
Indonesia.
4. Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dan permusyawaratan/ perwakilan.
5. Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
3.
Pengertian
Pancasila secara Termonologis
Dalam bagian Pembukaan UUD 1945 terdiri
atas empat alinea, yang tercantum
rumusan Pancasila sebagai berikut :
1. Ketuhanan
Yang Maha Esa.
2. Kemanusiaan
yang adil dan beradab.
3. Persatuan
Indonesia.
4. Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebjaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan.
5. Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rumusan Pancasila yang
tercantum dalam UUD 1945 inilah yang secara konstitusional sah dan benar
sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang disahkan oleh PPKI yang mewakili
seluruh rakyat Indonesia.
a. Dalam
Konstitusi RIS (Republik Indonesia Serikat)
Tercantum rumusan Pancasila sebagai
berikut :
1. Ketuhanan
Yang Maha Esa.
2. Peri
Kemanusiaan.
3. Kebangasaan.
4. Kerakyatan.
5. Keadilan.
b. Dalam
UUDS (Undang-Undang Dasar Sementara)
Tercantum rumusan Pancasila sebagai
berikut :
1. Ketuhanan
Yang Maha Esa.
2. Peri
Kemanusiaan.
3. Kebangsaan.
4. Kerakyatan.
5. Keadialan
Sosial.
c. Rumusan
Pancasila di Kalangan Masyarakat.
Rumusan Pancasila tersebut yaitu sebagai
berikut :
1. Ketuhanan
Yang Maha Esa.
2. Peri
Kemanusiaan.
3. Kebangsaan.
4. Kedaulatan
Rakyat.
5. Keadilan Sosial.
B.
Nilai-nilai
Pancasila dalam Sejarah Bangsa Indonesia.
Zaman
kutai. Indonesia memasuki zaman sejarah pada tahun 400 M,
dengan ditemukannya prasasti yang berupa 7 yupa
(tiang batu). Masyarakat kutai yang membangun zaman sejarah Indonesia pertama
kalinya ini menampilkan nilai-nilai sosial politik, dan ketuhanan dalam bentuk
kerajaan, kenduri, serta sedekah kepada Brahmana.
Dalam zaman kuno (400-1500) terdapat dua kerajaan yang
berhasil mencapai integrasi dengan wilayah yang meliputi hampir setengah
Indonesia yaitu kerajaan Sriwijaya di Sumatra dan Majapahit di Jawa (Toyibin,
1997).
Zaman Sriwijaya. Pada
zaman kerajaan Sriwijaya merupakan suatu kerajaan besar yang cukup disegani di
kawasan Asia Selatan. Sebagai suatu kerajaan yang besar Sriwijaya sudah
mengembangkan tata negara dan tata pemerintahan yang mampu menciptakan
peraturan-peraturan yang ditaati oleh rakyat yang berada di wilayah
kekuasaannya.
Zaman Kerajaan-kerajaan Sebelum
Majapahit. Sebelum kerajaan Majapahit muncul
sebagai kerajaan yang memancangkan nilai-nilai nasionalisme, telah muncul
kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah meliputi Kerajaan Kalingga (abad VII), Sanjaya
(abad VIII), Syailendra (abad VII dan IX). Diketahui bahwa agama Hindhu dan
Budha berasal dari India, sehingga pembangunan candi-candi menunjukkan fakta
bahwa dahulu bangsa Indonesia sudah mengembangkan toleransi beragama dan sikap
humanisme dalam pergaulan antar manusia. Sedangkan di Jawa Timur muncul
kerajaan meliputi kerajaan Isana (abad IX), Darmawangsa (abad X), dan kerajaan
Airlangga (abad XI). Para pengikut, rakyat, dan para Brahmana bermusyawarah dan
memutuskan untuk memohon Airlangga bersedia menjadi raja, sebagai penjabaran
sila keempat.
Bahkan
pada zaman itu lambang negara Indonesia yang makna didalamnya juga melambangkan
sila-sila Pancasila, digambarkan dengan burung garuda, dengan seloka ‘Bhinneka
Tunggal Ika’.
Kerajaan Majapahit. Pada
tahun 1293 berdirilah kerajaan Majapahit, pada waktu itu agama Hindhu dan Budha
hidup damai. Empu Prapanca menulis “Negarakertagama” (1365) dalam kitab
tersebut terdapat istilah Pancasila. Empu Tantular mengarang buku Sutasoma, yang didalamnya terdapat seloka persatuan
nasional yaitu Bhinneka Tunggal Ika, yang melambangkan bangsa dan negara
Indonesia yang tersusun dari unsur rakyat (bangsa) yang terdiri atas berbagai
macam, suku, adat istiadat, golongan, kebudayaan, dan agama, dengan wilayah
yang beribu-ribu pulau menyatu menjadi bangsa dan negara Indonesia.
Seloka
‘Bhinneka Tunggal Ika’ dipetik dari kitab Sutasoma atau Purudasanta dalam bahasa
Jawa Kuno gubahan Empu Tantular, seloka ‘Bhinneka Tunggal Ika’pada hakikatnya
merupakan suatu frase. Secara linguistis makna struktural seloka itu adalah
‘beda itu, satu itu’. Secara morfologis kata ‘Bhinneka” berasal dari kata
polimorfemis yaitu ‘bhinna’ dan ‘ika’. Kata ‘Bhinna’ berasal dari Sansekerta
‘Bhid’yang artinya beda. Sedang ‘tunggal ika’ artinya satu itu.
C.
Zaman
Penjajahan
Setelah Majapahit
runtuh pada permulaan abad XVI maka berkembang agama Islam dengan pesat dan
kerajaan-kerajaan Islamnya meliputi kerjaan Demak, dan mulai kedatangan
orang-orang Eropa di Nusantara yang diikuti orang Spanyol. Pada akhir abad XVI
bangsa Belanda datang dan mendirikan suatu perkumpulan dagang yang bernama
V.O.C (Verenigde Oost Indische Compagnie) di kalangan rakyat Indonesia disebut
‘kompeni’.
Praktek-praktek VOC
mulai kelihatan dengan paksaan-paksaan sehingga rakyat mulai mengadakan
perlawanan. Karena tidak terkoordinasi dengan baik perlawanan rakyat mengalami
kegagalan yang menimbulkan korban bagi anak-anak bangsa.
D.
Kebangkitan
Nasional.
Partai Konggres di India dengan tokoh
Tilak dan Gandhi, adapun di Indonesia bergolaklah kebangkitan akan kesadaran
berbangsa yaitu kebangkitan nasional (1908) dipelopori oleh dr. Wahidin
Sudirohusodo dengan Budi Utomo. Gerakan ini merupakan awal gerakan nasional
untuk mewujudkan suatu bangsa yang merdeka, yang memiliki kehormatan dan
martabat dengan kekuatannya sendiri.
Budi
Utomo yang didirikan pada tanggal 20 Mei 1908 ini merupakan pelopor pergerakan
nasional, sehingga setelah itu muncullah organisasi pergerakan lainnya
diantaranya : Sarekat Dagan Islam(SDI) (1909), kemudian mengubah bentuknya
menjadi gerakan politik yaitu Sarekat Islam(SI) (1911).
E.
Zaman
Penjajahan Jepang.
Pada tanggal 29 April
1945 Kaisar Jepang bersamaan dengan ulang tahunnya memberikan Indonesia
‘Kemerdekaan tanpa syarat’ , janji tersebut disampaikan kepada bangsa Indonesia
sebelum Jepang menyerah.
Untuk mendapatkan
simpati dan dukungan dari bangsa Indonesia maka sebagai realisai janjinya dibentuklah
badan yang bertugas untuk menyelidiki usaha-usaha persiapan kemerdekaan
Indonesia yaitu Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
atau Dokuritzu Zyunbi Tioosakai.
Sidang
BPUPKI pertama. (29 Mei – 1 Juni 1945)
a)
Mr.
Moh Yamin.(29 Mei 1945)
Dalam sidang mengemukakan lima asas
dasar negara yaitu sebagai berikut :
1) Peri
Kebangsaan.
2) Peri
Kemanusiaan.
3) Peri
Ketuhanan.
4) Peri
Kerakyatan.
5) Kesejahteraan
Rakyat.
b)
Prof.
Dr. Soepomo (31 Mei 1945).
Mengemukakan teori-teori negara sebagai
berikut :
(1) Teori
negara perseorangan (Individualis), teori tentang negara adalah masyarakat
hukum (legal society) yang disusun atas kontrak antara seluruh
individu(contract social).
(2) Paham
negara kelas (Class theory), atau teori ‘golongan’. Teori bahwa negara adalah
alat dari suatu golongan (suatu klasse) untuk menindas klasse lain.
(3) Paham
negara integralistik. Bahwa negara bukanlah untuk menjamin perseorangan atau
golongan tetapi menjamin kepentingan masyarakat seluruhnya sebagai suatu
persatuan. Negara adalah susunan masyarakat yang integral, segala golongan,
bagian atau anggotanya saling berhubungan erat satu dengan lainnya dan
merupakan kesatuan organis. Negara tidak memihak pada yang kuat atau paling
besar tidak memandang kepentingan seseorang sebagai pusat tetapi negara
menjamin keselamatan hidup bangsa seluruhnya sebagai suatu persatuan.
Soepomo juga mengemukakan tentang lima
prinsip dasar negara sebagai berikut :
(1) Persatuan.
(2) Kekeluargaan.
(3) Keseimbangan
Lahir Batin.
(4) Musyawarah.
(5) Keadilan
Rakyat.
c)
Ir.
Soekarno (1 Juni 1945).
Beliau mengusulkan
dasar negara yang terdiri dari lima prinsip yang rumusannya sebagai berikut :
(1) Nasionalisme
(Kebangsaan Indonesia).
(2) Internasionalisme(peri
kemanusiaan).
(3) Mufakat(demokrasi).
(4) Kesejahteraan
sosial.
(5) Ketuhanan
Yang Maha Esa.
(Kebudayaan Yang Berkebudayaan).
Lima prinsip sebagai dasar negara
tersebut kemudian oleh Soekarno diusulkan namanya “Pancasila” atas saran teman
beliau yang ahli bahasa. Berikutnya kelima sila diperas menjadi “Tri Sila” yang
meliputi : (1) Sosio-nasionalisme yang merupakan sintesis dari Kebangsaan
(Nasionalisme) dengan peri kemanusiaan (internasionalisme), (2) Sosio-demokrasi
merupakan sintesis dari ‘Mufakat” (demokrasi), dengan Kesejahteraan sosial,
serta (3) Ketuhanan, beliau mengusulkan “Tri Sila” untuk diperas lagi menjadi
Eka Sila yang intinya adalah ‘gotong-royong’.
Sidang
BPUPKI kedua (10-16 Juli 1945).
Dalam rapat tanggal 10
Juli antara lain diambil keputusan tentang bentuk negara. Pada tanggal 11 Juli
1945 keputusan yang terpenting adalah tentang luas wilayah negara baru. Pada
tanggal 14 Juli 1945 Badan Penyelidik bersidang lagi dan Panitia Perancang
Undang-Undang Dasar melaporkan hasil pertemuannya. Susunan UUD 1945 yang
diusulkan atas 3 bagian, yaitu: (a) Pernyataan Indonesia Merdeka, yang berupa
dakwaan di muka dunia atas penjajahan Belanda, (b) Pembukaan yang didalamnya
terkandung dasar negara Pancasila dan (c) Pasal-pasal Undang-Undang Dasar
(Pringgodigdo, 1979: 169-170).
F.
Proklamasi
Kemerdekaan dan Sidang PPKI.
Pada tanggal 8 Agustus 1945 Ir.
Soekarno, Moh.Hatta, dan Dr. Radjiman
diberangkatkan ke Saigon atas panggilan Jendral Terauchi, beliau pada
tanggal 9 Agustus1945 memberikan kepadanya 3 cap yaitu :
1) Soekarno
diangkat sebagai Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan, Moh.Hatta sebagai Wakil
ketua, dan Radjiman sebagai anggota.
2) Panitia
persiapan boleh mulai bekerja pada tanggal 9 Agustus itu.
3) Cepat
atau tidaknya pekerjaan panitia diserahkan sepenuhnya kepada Panitia.
Panitia Persiapan
Kemerdekaan atau Dokuritzu Zyunbi Inkai itu terdiri dari atas 21 orang,
termasuk Ketua dan Wakil Ketua.
Berdasarkan fakta sejarah PPKI awalnya badan bentukan Jepang kemudian
berubah menjadi badan nasional sebagai badan pendahuluan bagi Komite Nasional.
Proklamasi
17 Agustus 1945. Setelah Jepang menyerah kepada sekutu,
maka kesempatan digunakan sebaik-baiknya oleh bangsa Indonesia, meski terdapat
perbedaan pendapat antara golongan muda dan golongan tua. Tetapi kemudian pada
tanggal 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur 56 Jakarta, tepat hari jum’at legi
jam 10 pagi waktu Indonesia Barat(jam 11.30 waktu Jepang). Naskah tersebut
sebagai berikut:
Proklamasi
Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan
Kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain
diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya.
Jakarta,
17 Agustus 1945
Atas
Nama Bangsa Indonesia
Soekarno-Hatta
Sidang
PPKI
1)
Sidang
pertama (18 Agustus 1945).
Sidang pertama menghasilkan
keputusan-keputusan sebagai berikut :
a.
Mengesahkan Undang-Undang Dasar 1945yang
meliputi :
(1) Perubahan
Piagam Jakarta sebagai Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945.
(2) Menetapkan
Hukum Dasar.
b.
Memilih Presiden dan Wakil Presiden yang
pertama.
c.
Menetapkan Komite Nasional Indonesia Pusat
sebagai badan musyawarah darurat.
2) Sidang kedua (19 Agustus 1945).
Pada sidang kedua PPKI
berhasil menentukan ketetapan sebagai berikut :
1)
Tentang daerah Propinsi, pembagiannya :
(a)
Jawa Barat, (b) Jawa Tengah, (c) Jawa
Timur, (d) Sumatera,(e) Borneo, (f) Sulawesi, (g) Maluku, dan (h) Sunda kecil.
2)
Untuk sementara waktu kedudukan Kooti
dan sebagian diteruskan seperti sekarang.
3)
Untuk sementara waktu kedudukan kota
diteruskan seperti sekarang.
Hasil yang ketiga dalam
sidang adalah dibentuknya Kementrian atau Departemen yang meliputi 12
Departemen.
3) Sidang ketiga (20 Agustus 1945).
Pada sidang
ketiga PPKI dilakukan perabahasan tentang ‘Badan Penolong Keluarga Korban
Perang’, adapun keputusan lain adalah terdiri atas delapan pasal, yang salah
satunya pasal 2 dibentuklah badan yang disebut ‘Badan Keamanan Rakyat’.
4)
Sidang keempat (22 Agustus 1945).
Pada sidang keempat PPKI menbahas tentang agenda
Komite Nasional Partai Nasional Indonesia, yang berpusat di Jakarta.
PANCASILA
SEBAGAI SISTEM FILSAFAT
A.
Pengertian
Filasat.
Dari
segi etimologis. Menurut kata bahasa Inggris
“philosophy”, kata Latin “philosophia”, kata Belanda “philosophis”, kata Jerman
“philosophier”, kata Perancis “philosophic”, dan dalm kata Indonesia
“filsafat”.
“Philosophia” adalah kata benda yang
merupakan hasil dari kegiatan “philosophia” sebagai kata kerjanya. Dengan
demikian istilah “filsafat” yang dimaksudkan sebagai kata majemuk dari
“Philein” dan “sophos” mengandung arti, mencintai hal-hal yang sifatnya
bijaksana, sedangkan “filsafat” yang merupakan bentuk majemuk dari “philos” dan
“sophia” berkonotasi teman dari kebijaksanaan.
Jadi istilah filsafat merupakan suatu
istilah yang secara umum dipergunakan untuk menyebutkan usaha ke arah keutamaan
mental(the pursuit of mental exellence)(Ali Mudhofir, 1985)
B.
Rumusan
Kesatuan Sila-sila Pancasila Sebagi Suatu Sistem
Pancasila terdiri atas
lima sila pada hakikatnya merupakan suatu sistem filsafat. Pengertian sistem
adalah suatu kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan, saling bekerja
sama untuk suatu tujuan tertentu dan secara keseluruhan merupakan suatu
kesatuan yang utuh. Sistem lazimnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1) Suatu
kesatuan bagian-bagian.
2) Bagian-bagian
tersebut mempunyai fungsi sendiri-sendiri
3) Saling
berhubungan dan saling ketergantungan.
4) Keseluruhannya
dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan tertentu (tujuan sistem).
5) Terjadi
dalam suatu lingkungan yang kompleks (Shore voich, 1974).
Pancasila terdiri atas
bagian-bagian yaitu sila-sila Pancasila setiap sila pada hakikatnya merupakan
suatu asas sendiri, fungsi sendiri-sendiri namun secara keseluruhan merupakan
suatu kesatuan yang sistematis.
Kesatuan
Sila-Sila Pancasila
1. Susunan
Kesatuan Sila-sila Pancasila yang Bersifat Organis.
Kesatuan sila-sila Pancasila yang
bersifat organis pada hakikatnya secara filosofis bersumber pada hakikat dasar
antologis manusia sebagai pendukung dari inti, isi dari sila-sila Pancasila
yaitu hakikat manusia ‘monopltiralis’ yang memiliki unsur-unsur, ‘susunan
kodrat’ jasmani-rokhani ‘sifat kodrat’ individu-makhluk sosial, dan ‘kedudukan
kodrat’ sebagai pribadi sendiri makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Unsur-unsur
hakikat manusia tersebut merupakan suatu kesatuan yang bersifat organis dan
harmonis.
Setiap
unsur memiliki fungsi masing-masing namun saling berhubungan. Oleh karena itu
sila-sila Pancasila merupakan penjelmaan hakikat manusia ‘monopluralis’ yang
merupakan kesatuan organis maka sila-sila Pancasila juga memiliki kesatuan yang
bersifat organis juga.
2. Susunan
Kesatuan Pancasila yang Bersifat Hierarkis dan Berbentuk Piramidal.
Susunan Pancasila hierarkhis
dan mempunyai bentuk piramidal. Pengertian matematika piramidal digunakan untuk
menggambarkan hubungan hirarkhi sila-sila dari Pancasila dalam urut-urutan luas
(kwantitas) dan juga dalam hal sifat-sifatnya (kwalitas). Kalau dilihat dari
intinya, urut-urutan lima sila menunjukkan suatu rangkaian tingkat dalam
luasnya dan isi sifatnya, merupakan pengkhususan dari sila-sila yang dimukanya.
Dalam susunan
hierarkhis dan piramidal ini, maka Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi basis
kemanusiaan, persatuan Indonesia, kerakyatan dan keadilan sosial. Sebaliknya
Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang berkemanusiaan, yang membangun,
memelihara dan mengembangkan persatuan Indonesia, yang berkerakyatan dan
berkeadilan sosial demikian selanjutnya, sehingga tiap-tipa sila didalamnya
mengandung sila-sila lainnya.
Rumusan yang bersifat
Hierarkhis dan Berbentuk Piramidal
1)
Sila
pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa adalah meliputi dan menjiwai
sila-sila kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2)
Sila
kedua : Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah diliputi
dan dijiwai sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah menjiwai sila-sila persatuan
Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dan
permusyawarata/perwakilan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
3)
Sila
ketiga : Persatuaan Indonesia adalah diliputi Ketuhanan Yang
Maha Esa adalah meliputi dan menjiwai sila-sila kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dan permusyawaratan/perwakilan, keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
4)
Sila
keempat : kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan, adalah diliputi dan dijiwai oleh sila-sila
Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan
Indonesia, meliputi dan menjiwai sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
5)
Sila
kelima : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
adalah diliputi dan dijiwai oleh sila-sila ketuhanan Yang maha Esa, kemanusiaan
yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan permusyawaratan/perwakilan.
Secara antologis (hakikat) sila-sila
Pancasila sebagai suatu sistem bersifat hierarkhis dan berbentuk piramidal
adalah sebagai berikut : bahwa hakikat adanya Tuhan adalah ada karena dirinya
sendiri, Tuhan sebagai kausa prima.
3. Hubungan
Sila-sila Pancasila yang Saling Mengisi dan Saling Mengkualifikasi
Sila-sila Pancasila sebagai
kesatuan dapat dirumuskan pula dalam hubungannya saling mengisi atau mengkualifikasi
dalam rangka hubungan hierarkhis piramidal tadi. Tiap-tiap sila seperti telah
disebutkan diatas mendukung empat sila lainnya, dikualifikasi oleh empat sila lainnya.
Untuk kelengkapan dari hubungan kesatuan keseluruhan dari sila-sila Pancasila
dipersatukan dengan rumus hierarkhis tersebut di atas.
C.
Kesatuan
Sila-sila Pancasila sebagai Suatu sistem Filsafat
Secara filosofis
Pancasila sebagai kesatuan sistem filsafat memiliki dasar antologis, dasar
epistemologis dan dasar aksiologis sendiri yang berbeda dengan sistem filsafat
yang lainnya misalnya materialisme, liberalisme, pragmatisme, komunisme,
idealisme, dan paham lain filsafat di dunia.
a.
Dasar
Antopologis (hakikat manusia) Sila-sila Pancasila
Dasar antologis
Pancasila pada hakikatnya adalah manusia yang memiliki hakikat mutlak monopluralis, oleh karena itu hakikat
dasar ini juga disebut sebagai dasar antropologis. Subjek pendukung pokok
Pancasila adalah manusia, hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut : bahwa yang
berketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang
persatuan, yang berkerakyatan yang dpimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilanserta yang berkeadilan sosial pada haikikatnya adalah
manusia(Notonagoro, 1975 : 23)
Demikian
juga jika kita pahami dari segi filsafat negara bahwa Pancasila adalah dasar
filsafat negara, adapun pendukung pokok negara adalah rakyat dan unsur rakyat
adalah manusia itu sendiri, sehingga tepat jika dalam filsafat Pancasila bahwa
hakikat dasar antropologis sila-sila Pancasila adalah manusia.
b.
Dasar
Epistemologis (pengetahuan) Sila-sila Pancasila
Dasar epistemologis
Pancasila pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dengan dasar antropologisnya.
Pancasila sebagai suatu ideologi bersumber pada nilai-nilai dasarnya yaitu
filsafat Pancasila (Soeryanto, 1991:50). Oleh karena itu, dasar epistomologis
Pancasila tidak dapat dipisahkan dengan konsep dasarnya tentang haikikat
manusia. Kalau manusia merupakan basis ontologis dari Pancasila, maka dengan
demikian mempunyai implikasi terhadap bangunan epistemologi, yaitu bangunan
epistemologi yang ditempatkan dalam bangunan filsafat manusia(Pranarka,
1996:32).
Terdapat tiga persoalan
dasar dalam dasar epistemologi yaitu: pertama
tentang sumber pengetahuan manusia, kedua tentang teori kebenaran
pengetahuan manusia, ketiga tentang
watak pengetahuan manusia. Sebagai suatu paham epistomologi maka Pancasila
mendasarkan pada pandangannya bahwa ilmu pengetahuan pada hakikatnya tidak
bebas nilai karena harus diletakkan pada kerangka moralitas kodrat manusia
serta moralitas religius dalam upaya untuk mendapatkan suatu tingkatan
pengetahuan yang mutlak dalam hidup manusia.
c.
Dasar
Aksiologis (nilai) Sila-sila Pancasila
Sila-sila sebagai suatu
sistem filsafat juga memiliki satu kesatuan dasar aksiologisnya sehingga
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila pada hakikatnya juga merupakan
suatu kesatuan. Terdapat berbagai macam teori tentang nilai dan hal ini sangat
tergantung pada titik tolak dan sudut pandangnya masing-masing dalam menentukan
tentang pengertian nilai dan hierarkhinya. Misalnya kalangan materialis
memandang nilai yang tertinggi adalah nilai material, kalangan hedonis memandang nilai tertinggi adalah nilai
kenikmatan.
Nilai-nilai
Pancasila sebagai Suatu Sistem.
Pancasila
merupakan suatu sistem nilai dapat dilacak dari sila-sila Pancasila, yang
merupakan suatu sistem. Sila-sila itu merupakan kesatuan organik. Antara sila
satu dan lainnya dalam Pancasila itu saling mengkualifikasi saling berkaitan
dan berhubungan secara erat. Dalam pengertian yang demikian ini pada hakikatnya
Pancasila itu merupakan suatu sistem nilai, dalam artian bahwa bagian-bagian
atau sila-silanya saling berhubungan secara erat sehingga membentuk suatu
struktur yang menyeluruh.
D.
Pancasila
sebagai Nilai Dasar Fundamental bagi Bangsa dan Negara Republik Indonesia
a.
Dasar
filosofis. Pancasila sebagai dasar filsafat negara
serta sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia pada hakikatnya merupakan suatu
nilai-nilai yang bersifat sistematis, fundamental, dan menyeluruh. Maka
sila-sila Pancasila merupakan suatu kesatuan yang bulat dan utuh, hierarkhis
dan sistematis. Dalam pengertian inilah maka sila-sila Pancasila merupakan
suatu sistem filsafat. Konsekuensinya kelima sila bukan terpisah-pisah dan
memiliki makna sendiri-sendiri, melainkan memiliki esensi serta makna yang
utuh.
b.
Nilai-nilai
Pancasila sebagai Dasar Fundamental Negara
Nilai-nilai
Pancasila terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 secara yuridis memiliki kedudukan
sebagai Pokok Kaidah Negara yang Fundamental. Adapun Pembukaan UUD 1945 yang didalamnya memuat nilai-nilai Pancasila
mengandung Empat Pokok Pikiran yang bilamana dianalisis makna yang terkandung
didalamnya tidak lain adalah derivasi atau penjabaran dari nilai-nilai
Pancasila.
Pokok Pikiran Pertama menyatakan
bahwa negara Indonesia adalah negara persatuan, yaitu negara yang melindungi
segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mengatasi segala paham
golongan maupun perseorangan. Hal ini merupakan penjabaran sila ketiga.
Pokok pikiran kedua
menyatakan bahwa negara hendak mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Dalam hal ini negara berkewajiban mewujudkan kesejahteraan
umum seluruh warga negara. Mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Hal ini
penjabaran sila kelima.
Pokok pikiran ketiga menyatakan
bahwa negara berkedaulatan rakyat. Berdasarkan atas kerakyatan dan
permusyawratan/ perwakilan. Hal ini menunjukkan Indonesia adalah negara
demokrasi yang berkedaulatan rakyat. Hal ini penjabaran sila keempat.
Pokok Pikiran keempat
menyatakan bahwa negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut dasar kemanusiaan
yang adil dan beradab ketuhanan Yang Maha Esa serta Kemanusiaan Yang adil dan
beradab ini, merupakan sumber moral dalam kehidupan kenegaraan dan kebangsaan.
Hal ini mengadung arti negara Indonesia menjujung tinggi keberadaan semua agama
dalam pergaulan hidup negara. Hal ini penjabaran sila pertama dan kedua.
Disimpulkan
bahwa keempat pokok pikiran tersebut tidak lain merupakan perwujudan dari
sila-sila Pancasila. Pokok pikiran ini sebagai dasar, fundamental dalam
pendirian negara, yang realisasi berikutnya perlu diwujudkan atau dijelmakan
lebih lanjut dalam pasal-pasal UUD 1945.
E.
Inti
isi Sila-sila Pancasila
Berikut ini menjelaskan nilai-nilai yang
terkandung dalam setiap sila, namun kesemuanya itu tidak dapat dilepaskan
keterkaitannya dengan sila-sila lainnya. Adapun nilai-nilai yang terkandung
dalam setiap sila adalah sebagai berikut :
1)
Sila
Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila ini terkandung nilai bahwa
negara yang didirikan ini sebagai pengejawantahan tujuan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu segala hal yang berkaitan dengan
pelaksanaan dan penyelenggaraan negara lainnya harus dijiwai nilai-nilai
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Negara Indonesia adalah negara
kebangsaan yang mengakui Ketuhanan Yang Maha Esa. Konsekuensinya bahwa negara
memberikan kebebasan yang asasi terhadap semua warganya untuk percaya dan
meyakini adanya Tuhan sesuai dengan keyakinan agama masing-masing.
2)
Sila
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Terkandung nilai-nilai
bahwa negara harus menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia dan dijamin
dalam peraturan perundang-undangan negara. Nilai kemanusiaan yang beradab
adalah perwujudan nilai kemanusiaan sebagai makhluk yang berbudaya,
bermoral,dan beragama.
Pengertian bahwa
hakikat manusia harus adil dalam hubungan dengan diri-sendiri, adil terhadap
manusia lain, adil terhadap masyarakat bangsa dan negara, adil terhadap
lingkungannya serta adil terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Konsekuensinya nilai
kemanusiaan yang adil dan beradab adalah menjujung tinggi harkat dan martabat
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi HAM, menghargai
atas kesamaan hak dan derajat tanpa membedakan suku, ras, keturunan, status
sossial maupun agama. Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia,
tenggang rasa, tidak semena-mena terhadap sesama manusia, menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan (Darmodihardjo, 1996).
3)
Sila
Persatuan Indonesia. Dalam sila Persatuan Indonesia
terkandung nilai bahwa negara adalah sebagai penjelmaan sifat kodrat manusia
monodualis yaitu sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Konsekuensinya
negara adalah beraneka ragam tetapi satu, mengikat diri dalam suatu persatuan
dilukiskan dengan seloka Bhinneka Tunggal
Ika. Perbedaan diruncingkan untuk konflik dan permusuhan tetapi diarahkan
pada sintesis persatuan dalam kehidupan bersama untuk mewujudkan tujuan
bersama.
Nilai persatuan Indonesia didasari dan
dijiwai oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan kemanusiaan yang adil dan
beradab. Hal ini terkandung nilai bahwa nasionlisme Indonesia adalah
nasionalisme religius yaitu nasionalisme yang bermoral Ketuhanan Yang Maha Esa.
4)
Kerakyatan
yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/perwakilan.
Nilai didalam sila ini didasari oleh
keempat sila lainnya. Nilai filosofis yang terkandung didalamnya bahwa hakikat
negara adalah sebagai penjelmaan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu
dan makhluk sosial. Hakiakt rakyat adalah sekelompok manusia sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa yang bersatu untuk mewujudkan harkat dan martabat manusia
dalam suatu wilayah negara.
Rakyat adalah subjek pendukung pokok
negara. Negara adalah dari, oleh, untuk rakyat, oleh karena itu rakyat adalah
asal mula kekuasaan negara. Sehingga dalam sila kerakyatan terkandung nilai
demokrasi yang secara mutlak harus dilaksanakan dalam hidup negara. Demokrasi
dalam sila keempat adalah demokrasi yang mendasarkan pada moral ketuhanan,
kemanusiaan, dan nilai persatuan.
5)
Keadilan
Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Nilai yang terkandung
dalam sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia didasari oleh
sila-sila keempat lainnya. Dalam nilai sila kelima tersebut terkandung
nilai-nilai yang merupakan tujuan negara sebagai tujuan dalam hidup bersama.
Keadilan didasari dan dijiwai oleh hakikat kemanusiaan yaitu keadilan dalam
hubungan manusia dengan diri sendiri, manusia dengan manusia lain, manusia
dengan masyarakat, bangsa dan negaranya serta hubungannya dengan Tuhannya.
Konsekuensinya nilai-nilai keadilan meliputi ;
1. Keadilan
distributif, yaitu suatu hubungan keadilan antara negara terhadap warganya, dalam
arti pihak negaralah yang wajib memenuhi keadilan dalam bentuk keadilan
membagi, dalam bentuk kesejahteraan, bantuan, subsidi, serta kesempatan dalam
hidup bersama yang didasarkan atas hak dan kewajiban.
2. Keadilan
legal, yaitu suatu hubungan keadilan antara warga negara dengan negara dan
dalam masalah ini wargalah yang wajib memenuhi keadilan dalam bentuk menaati
peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam negara.
3. Keadilan
komutatif, yaitu suatu hubungan keadilan antara warga satu dengan yang lainnya
secara timbal balik.
Nilai-nilai keadilan
harus merupakan suatu dasar yang harus diwujudkan dalam hidup bersama
kenegaraan untuk mewujudkan tujuan negara.
Etika
Politik Berdasarkan Pancasila
Pengertian
etika.
Etika merupakan suatu
pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan
moral.
Etika adalah suatu ilmu yang membahas
tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu atau
bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggungjawab berhadapan dengan
berbagai ajaran moral (Suseno, 1987).
Pengertian
Nilai, Norma, dan Moral
1.
Pengertian
Nilai. Nilai atau “Value” (bhs. Inggris) termasuk bidang
kajian filsafat, cabang filsafat yang dipelajari yaitu Filsafat Nilai
(Axiology, Theory of Value). Nilai itu pada hakikatnya adalah sifat atau
kualitas yang melekat pada suatu objek, bukan objek itu sendiri. Menilai
berarti menimbang, suatu kegiatan manusia untuk menghubungkan sesuatu dengan
sesuatu yang lain, untuk selanjutnya diambil keputusan. Di dalam nilai itu
sendiri terkandung cita-cita, harapan-harapan, dambaan-dambaan, dan keharusan.
2.
Hierarkhi
nilai. Pada hakikatnya segala sesuatu itu bernilai, hanya
nilai macam apa yang ada serta bangaimana hubungan nilai itu pada manusia.
Menurut tinggi rendahnya, nilai-nilai dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu
sebagai berikut :
1. Nilai
kenikmatan
2. Nilai-nilai
kehidupan
3. Nilai-nilai
kejiwaan
4. Nilai-nilai
kerohanian
Notonegoro berpendapat
bahwa nilai-nilai Pancasila tergolong nilai-nilai kerokhanian, tetapi
nilai-nilai kerokhanian yang mengakui adanya nilai material dan nilai vital.
Dengan demikian nilai-nilai secara lengkap dan harmonis, baik nilai material, nilai
vital, nilai kebenaran, nilai keindahan atau nilai estetis, nilai kebaikan atau
nilai moral, maupun nilai kesucian yang sitematis-hirarkhis, yang dimulai dari
sila Ketuhanan Yang Mha Esa sebagai ‘dasar’ sampai dengan sila Keadilan Sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai ‘tujuan’ (Darmodiharjo, 1996).
3.
Nilai-nilai
Pancasila sebagai Sumber Etika Politik.
Dalam pelaksanaan dan
penyelenggaraan negara, etika politik menuntut agar kekuasaan negara dijalankan
sesuai dengan (1) asas legalitas (legitimasi hukum), yaitu dijalankan sesuai
hukum yang berlaku, (2) disahkan dan dijalankan secara demokratis(legitimasi demokratis),
dan (3) dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip moral atau tidak bertentangan
dengannya (legitimasi moral). Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki
tiga dasar tersebut. Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara,baik
menyangkut kekuasaan, kebijaksanaan yang menyangkut publik pembagian serta
kewenangan harus berdasarkan legitimasi moral, religius, dan moral kemanusiaan
(sila II).
4.
Pancasila
sebagai Budaya Bangsa Indonesia.
Dalam proses terjadinya
Pancasila dirumuskan oleh para pendiri Negara Indonesia dengan menggali
nilai-nilai yang dimiliki bangsa Indonesia. nilai-nilai terdapat dalam budaya
Bangsa Indonesia sebelum mendirikan Negara.
Secara kausalitas Pancasila sebelum
disahkan sebagai dasar filsafat negara nilai-nilainya telah ada dan berasal
dari bangsa Indonesia sendiri yang berupa nilai-nilai adat istiadat,
kebudayaan, dan nilai-nilai religius. Maka secara kausalitas asal mula
Pancasila dibedakan menjadi dua
yaitu :
1. Asal
Mula Yang Langsung.
Asal mula yang langsung
tentang Pancasila adalah asal mula yang langsung terjadinya Pancasila sebagai
dasar filsafat negara. Asal mula dibedakan atas empat macam yaitu:
Asal
mula bahan(Kausa Materialis). Asal bahan Pancasila
adalah pada bangsa Indonesia sendiri yang terdapat dalam kepribadian dan
pandangan hidup bangsa Indonesia. dalam pengertian ini Pancasila sebagai local
wisdom bangsa Indonesia.
Asal
mula bentuk (Kausa Formalis). Asal mula bentuk
Pancasila adalah Ir. Soekarano dan Moh. Hatta serta anggota BPUPKI lainya
sebagai pembentuk negara dan telah membentuk rumusan dan nama Pancasila.
Asal
mula karya (Kausa Effisien). Kausa effisien atau asal mula karya yaitu
asal mula yang menjadikan Pancasila sebagai calon dasar negara menjadi dasar
negara.
Asal
mula tujuan (Kausa Finalis). Pancasila dirumuskan
dan dibahas dalam sidang-sidang para pendiri negara, tujuannya adalah untuk
dijadikan sebagai dasar negara, asal mula tujuan tersebut yaitu BPUPKI serta
Ir. Soekarno dan anggota lainnya.
2. Asal
Mula Tidak Langsung.
Secara kausalitas asal
mula yang tidak langsung Pancasila adalah asal mula sebelum Proklamasi
Kemerdekaan. Maka asal mula tidak langsung Pancasila bilamana dirinci adalah
sebagai berikut :
(1) Unsur-unsur
Pancasila sebelum secara langsung
dirumuskan menjadi dasar filsafat negara.
(2) Nilai-nilai
terkandung dalam pandangan hidup masyarakat Indonesia sebelum membentuk negara.
(3) Disimpulkan
bahwa asal mula tidak langsung Pancasila pada hakikatnya adalah bangsa
Indonesia sendiri.
F.
Pancasila
sebagai Pandangan Hidup Bangsa.
Pancasila sebagai pandangan
hidup bangsa merupakan suatu kristalisasi dari nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat Indonesia, maka pandangan hidup tersebut harus dijunjung tinggi oleh
warganya karena pandangan hidup Pancasila berakar pada budaya dan pandangan
hidup masyarakat. Dengan pandangan hidup yang Bhinneka Tunggal Ika tersebut
harus merupakan asa pemersatu bangsa Indonesia sehingga tidak boleh mematikan
keanekaragaman.
G.
Pancasila
sebagai Dasar Filsafat Negara (Philosofische Grondslag).
Kedudukan pokok
Pancasila adalah sebagai dasar filsafat Negara Republik Indonesia. Pancasila
merupakan dasar filsafat negara(asas kerokhanian negara), pandangan hidup dan
filsafat hidup.
Dengan seluruh aspek penyelenggaraan
negara diliputi dan dijelmakan oleh asas kerokhanian Pancasila, dalam
pengertian ini maka kedudukan Pancasila sebagai asas kerokhanian dan dasar
filsafat negara Indonesia.
Bagi bangsa dan negara Indonesia, dasar
filsafat dalam kehidupan bersama itu adalah Pancasila. Pancasila sebagai core
philosophy negara Indonesia, sehingga konsekuensinya merupakan esensi staatsfundamentalnorm bagi reformasi
konstitusionalisme.
H.
Pancasila
Sebagai Ideologi Terbuka.
Pancasila sebagai suatu ideologi tidak
bersifat kaku dan tertutup, namun bersifat terbuka. Hal ini dimaksudkan bahwa
ideologi Pancasila adalah bersifat aktual, dinamis, antisipasif dan senantiasa
mampu menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Keterbukakan ideologi Pancasila
bukan berarti mengubah nilai-nilai dasar Pancasila namun mengeksplisitkan
wawasannya secara kongkrit, sehingga memiliki kemampuan yang lebih tajam untuk
memecahkan masalah-masalah baru dan aktual.
Sebagai suatu ideologi yang bersifat
terbuka maka Pancasila memiliki dimensi sebagai berikut :
(1) Dimensi
idealis.
(2) Dimensi
normatif.
(3) Dimensi
realistis.
I.
Pancasila
sebagai Asas Persatuan dan Kesatuan Bangsa Indonesia.
Bangsa Indonesia
terdiri atas berbagai macam suku bangsa yang dengan sendirinya memiliki
kebudayaan dan adat istiadat yang berbeda-beda pula. Namun perbedaan itu harus
disadari sebagai sesuatu yang memang ada pada setiap manusia (suku bangsa)
sebagai makhluk pribadi dan sudah bersifat biasa. Demikian dengan adanya
kesatuan asas kerokhanian yang kita miliki, maka perbedaan itu harus dibina ke
arah suatu kerjasama dalam memperoleh kebahagiaan bersama. Dengan adanya
kesamaan dan kesatuan asas kerokhanian dan kesatuan ideologi, maka perbedaan
itu perlu diarahkan pada suatu persatuan.
Maka fungsi dan kedudukan asas,
Pancasila sebagai asas kerokhanian, sebagai asas persatuan, kesatuan, dan asas
kerjasama bangsa Indonesia. Maka dengan ini membina, mengembangkan,
membangkitkan, memperkuat persatuan dalam suatu pertalian bangsa menjadi sangat
berarti, sehingga persatuan dan kesatuan tidak hanya bersifat statis tetapi
juga dinamis.
J.
Pancasila
sebagai Jati Diri Bangsa Indonesia.
Ketika para pendiri negara Indonesia
menyiapkan berdirinya negara Indonesia merdeka, mereka sadar sepenuhnya untuk
menjawab suatu pertanyaan yang fundamental ‘diatas dasar apakah negara
Indonesia merdeka didirikan?’. Dengan menjawab yang mengandung makna hidup bagi
bangsa Indonesia sendiri yang merupakan perwujudan dan pengejawantahan nilai-nilai
yang dimiliki, diyakini, dihayati kebenarannya oleh masyarakat sepanjang masa
dalam sejarah perkembangan dan pertumbuhan bagsa sejak lahir. Maka Pancasila
yang kausa materialisnya bersumber pada nilai-nilai budaya bangsa ini, istilah
Margareth Mead, Ralp Linton, dan Abraham Kardiner dalam Anthropology to Day,
disebut sebagai National Character. Kemudian Linton lebih condong dengan
istilah Peoples Character, atau dalam suatu negara disebut sebagai National
Identity (Kroeber, 1954; Ismaun, 1981: 7), atau menurut istilah populer disebut
‘Jati Diri’ bangsa Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar